Bumi Makin Panas
BUMI MAKIN PANAS
ANCAMAN PERUBAHAN IKLIM
DI INDONESIA
Bab 1:
Mungkinkah Iklim Berubah? 1
A. Dampak Perubahan
Iklim 4
1. Mencairnya Es di
Kutub 4
2. Pergeseran Musim 4
3. Peningkatan Permukaan
Air Laut 5
4. Dampak Lainnya 6
Bab 2:
Apa Penyebab Perubahan Iklim? 8
A. Kehutanan 9
B. Energi 12
C. Pertanian dan
Peternakan 14
D. Sampah 15
Bab 3:
Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia 17
A. Posisi Geografis
Indonesia 17
B. Dampak Perubahan
Iklim bagi Indonesia 18
1. Kenaikan Temperatur
dan Berubahnya Musim 19
2. Naiknya Permukaan Air
Laut 21
3. Dampaknya pada Sektor
Perikanan 23
4. Dampaknya pada Sektor
Kehutanan 25
5. Dampaknya pada Sektor
Pertanian 26
6. Dampaknya pada Sektor
Kesehatan 28
7. Dampak Sosial dan
Ekonomi 30
Bab 4:
Respon Dunia Internasional terhadap Isu Perubahan Iklim 32
A. Masuknya Isu
Perubahan Iklim dalam Agenda Internasional 32
iii
B. Konvensi Perubahan
Iklim 34
C. Protokol Kyoto 36
D. CDM (Clean
Development Mechanism) 39
Bab 5:
Lalu Apa yang Harus Dilakukan? 45
A. Upaya yang Telah
Dilakukan 46
1. Pemerintah 46
2. Industri dan
Masyarakat 49
B. Apa yang Harus dilakukan
di Masa Depan? 49
1. Pemerintah 49
2. Industri 58
3. Masyarakat 59
Daftar
Pustaka 62
Daftar
Boks
Boks 1.1: Gas Rumah Kaca
2
Boks 1.2: Apa itu Iklim?
4
Boks 1.3: Beda Efek
Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim 5
Boks 1.4: Potensi
Pemanasan Global 6
Boks 1.5: El Nino dan
Hubungannya dengan Perubahan Iklim 7
Boks 4.1: IPCC -
Intergovernmental Panel on Climate Change 32
Boks 4.2: Negara-negara
Annex I 35
Boks 4.3: Status
Ratifikasi Protokol Kyoto 34
Boks 5.1: Mutu Meningkat,
Emisi Berkurang 51
Boks 5.2: Energi
Terbarukan 56
Boks 5.3: Pengelolaan
Hutan 59
Daftar
Tabel
Tabel 2.1: Emisi GRK
Indonesia tahun 1994 8
Tabel 2.2: Kandungan
Emisi Karbon Tiap Jenis Bahan Bakar 12
Tabel 2.3: Sumber Energi
di Indonesia 13
Tabel 3.1: Konsentrasi
GRK Menurut Skenario IPCC 20
Tabel 3.2: Luas Lahan
yang Rentan Terhadap Intrusi Air Laut dan Kenaikan
Muka Air Laut di Pantai
Utara Semarang 22
Tabel 3.3: Luas Tanaman
Padi yang Terkena Bencana Banjir, Kekeringan dan
Puso tahun 1988-1997 27
Tabel 4.1: Target
Penurunan Emisi GRK Beberapa Negara Annex I 35
Tabel 5.1: Pemanfaatan
Energi Terbarukan untuk Pasokan Listrik 56
Daftar
Grafik
Grafik 1: Emisi Karbon
Tiap Sektor di Indonesia 14
iv
Perubahan iklim
merupakan isu global yang mulai
menjadi topik
perbincangan dunia sejak diadakannya
Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun
1992. Konvensi Perubahan
Iklim atau United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC)
merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam
Agenda 21 dan telah
disahkan pada konferensi tersebut. Konvensi Perubahan Iklim
telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Maksud
dan tujuan utama dari
konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi
gas rumah kaca (GRK) di
atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan
pembangunan
berkelanjutan.
Isu perubahan iklim
merupakan isu global sehingga dalam penanganannya perlu
melibatkan seluruh pihak
secara global. Upaya pengelolaan lingkungan, baik di
tingkat pusat maupun di
tingkat daerah, saat ini masih belum berjalan secara
maksimal karena masih
banyak kendala yang dihadapi, antara lain koordinasi antar
sektor yang masih belum
berjalan dengan baik. Kemampuan aparat pemerintah
dalam pengelolaan lingkungan
perlu ditingkatkan dengan memberikan informasi
secara lebih intensif
mengenai isu lingkungan global seperti perlindungan atmosfer
dan perubahan iklim.
Partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan dan hal tersebut
memerlukan peran aktif
pemerintah dalam mendorong upaya tersebut, karena sumber
daya alam dan lingkungan
bukan hanya milik pemerintah tetapi juga milik seluruh
masyarakat.
Dalam rangka mendukung
pelaksanaan Program Sosialisasi Antisipasi Dampak
Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pelangi telah
melakukan serangkaian
sosialisasi isu perubahan iklim dan antisipasi dampak
perubahan iklim ke
daerah serta menyusun sebuah booklet mengenai perubahan
iklim pada tahun 2003,
yang mendapat bantuan dari Japan International Cooperation
Agency (JICA).
Penerbitan booklet ini
mengalami keterlambatan karena menunggu penyempurnaan
v
hasilnya, sehingga baru
pada tahun 2004 booklet ini dapat diterbitkan untuk
kemudian didiseminasikan
ke berbagai pihak terkait. Harapan kami, publikasi ini
dapat memberikan
informasi kepada banyak pihak tentang isu perubahan iklim
serta dampaknya.
Informasi ini nantinya diharapkan dapat membantu para pihak
yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim untuk dapat melakukan berbagai
tindakan antisipasi dan
adaptasi.
Akhir kata, kami
berharap semoga publikasi ini bermanfaat bagi kita semua, terutama
bagi kelangsungan
kehidupan generasi mendatang.
Jakarta, 14 Februari
2004
Sudariyono
Deputi Kementerian
Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan
vi
Banyak orang berkata,
"Buat apa memikirkan masalah perubahan iklim?
'kan itu adalah isu
lingkungan global yang masih jauh. Bukankah isu itu
adalah milik
negara-negara maju? Masih banyak yang harus kita lakukan di
Indonesia sebelum kita
mulai peduli dengan perubahan iklim." Ternyata, semakin
lama semakin jelas bahwa
perubahan iklim jauh lebih dekat dari apa yang dikira
orang. Isu itu bukan
lagi isu negara-negara maju, tetapi sudah harus menjadi
kepedulian kita di
Indonesia.
Kemarau yang semakin
panjang serta musim hujan yang semakin intensif - walaupun
semakin pendek
periodanya - merupakan bukti bahwa perubahan iklim sangat dekat
dengan kehidupan kita.
Kekeringan panjang serta banjir menyebabkan kerugian di
banyak sektor. Ditambah
dengan wilayah berhutan yang semakin gundul dan longsor
terjadi di mana-mana di
seluruh pelosok tanah air membuat dampak perubahan
iklim semakin terasa.
Kerugian materi yang besar terlihat tidak seberapa dibanding
nyawa yang terkorbankan.
Perubahan iklim jelas menghambat pembangunan di
Indonesia, bahkan dalam
jangka paling pendek sekalipun.
Keprihatinan inilah yang
membuat Pelangi peduli dan mendalami isu perubahan
iklim ini. Untuk itulah
buku kecil ini diterbitkan. Pelangi mengharapkan agar
informasi mengenai
perubahan iklim - yang memang sangat rumit secara ilmiah -
bisa secara mudah
dicerna khalayak banyak. Dengan semakin meningkatnya
pengertian dan
kepedulian masyarakat banyak akan sebab dan akibat dari perubahan
iklim, serta apa yang
bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, secara nasional, maupun
internasional, Pelangi
mengharapkan akan lebih banyak lagi aksi dan kebijakan
yang dapat menghambat
perubahan iklim ini.
Buku kecil ini tak akan
mungkin diterbitkan tanpa bantuan segenap pihak. Pertamatama,
saya mengucapkan terima
kasih kepada Armely "Melly" Meiviana atas
dedikasinya dalam
menulis, mengedit dan me-manage seluruh proses pembuatan
buku ini. Juga kepada
Diah R Sulistiowati dan Moekti H Soejachmoen yang telah
membantu penulisan buku
ini serta Budi "Bukrie" N Boestami untuk bantuannya
vii
dalam desain komunikasi
visual, ilustrasi dan tata letak. Tak kalah pentingnya,
bantuan teman-teman di
Pelangi yang telah bersedia menjadi pembaca, memberikan
komentar dan masukan
atas buku ini hingga detik-detik terakhir.
Kepada Kementerian
Lingkungan Hidup, terutama Ibu Liana Bratasida, Bapak Gunardi
Bapak Hendry Baiquni,
Bapak Paulus A Winarso, dan Bapak M Natsir, kami ucapkan
terima kasih atas
kepercayaannya kepada Pelangi dan dukungannya dalam
penyusunan buku ini.
Akhir kata, ucapan
terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Japan
International
Cooperation Agency (JICA) yang mendukung pendanaan penerbitan
buku ini. Ucapan terima
kasih terutama kami sampaikan kepada Shinsuke Unisuga
dan Tetsuro Fujitsuka,
para tenaga ahli JICA yang ditempatkan di Kementerian
Lingkungan Hidup di
Jakarta.
Jakarta, 14 Februari
2004
Salam lestari,
Agus P Sari
Direktur Eksekutif
Pelangi
viii
Aforestrasi
Konversi lahan bukan
hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan
penanaman (biasa disebut
penghijauan) dengan menggunakan jenis tanaman (species)
asli (native)
atau dari luar (introduce). Menurut Marrakech Accord (2001)
kegiatan penghijauan
tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya
bukan merupakan hutan.
Akumulasi
Terkumpulnya suatu zat
tertentu menjadi satu kesatuan dalam kurun waktu tertentu.
Atmosfer
Lapisan udara yang
menyelimuti planet bumi. Atmosfer terdiri dari nitrogen (79,1%),
oksigen (20,9%),
karbondioksida (+/- 0,03%) dan beberapa gas mulia (argon, helium,
xenon dan lain-lain),
ditambah dengan uap air, amonia, zat-zat organik,
ozon, berbagai
garam-garaman dan partikel padat tersuspensi. Atmosfer bumi terdiri
dari berbagai lapisan,
yaitu berturut-turut dari bawah ke atas adalah troposfer,
stratosfer, mesosfer dan
termosfer.
Bahan
Bakar Fosil
Bahan bakar yang
terbentuk dari fosil-fosil tumbuhan dan hewan di masa lampau.
Contoh bahan bakar fosil
(BBF) atau fossil fuel adalah minyak bumi, gas alam dan
batu bara. BBF tergolong
bahan bakar yang tidak terbarukan.
Biogas
Gas yang dihasilkan dari
proses fermentasi mikroorganisme, biasanya dihasilkan
dari bahan baku sampah
organik ataupun dari sisa pencernaan (baca: kotoran)
mahluk hidup. Unsur
utama biogas adalah gas metana (CH4).
Biomassa
Total berat kering (dry
weight) satu spesies atau semua spesies mahluk hidup dalam
suatu daerah yang diukur
pada waktu tertentu. Ada dua jenis biomassa, yaitu
biomassa tanaman dan
biomassa binatang.
ix
BOE
Barrel
Oil Equivalent. 6.000 cubic feet, faktor yang digunakan untuk
mengkonversi
volume dari hidrokarbon
yang diproduksi.
CH4
Gas Metana. Salah satu
GRK utama yang memiliki GWP sekitar 25 kali CO2. GRK ini
banyak dihasilkan dari
dekomposisi bahan organik secara anaerobik, misalnya sawah,
penimbunan sampah
organik dan kotoran mahluk hidup.
CO2
Karbondioksida. Salah
satu dari enam GRK yang utama dan dijadikan referensi GRK
yang lain dalam
menentukan Indek GWP, sehingga GWP-nya = 1. GRK ini banyak
dihasilkan dari
pembakaran BBF, biomassa dan alih guna lahan.
COP
Conference
of Parties. Konferensi para pihak (negara-negara) penandatangan konvensi
PBB, dalam hal ini
konvensi perubahan iklim (UNFCCC).
COP/MOP
Conference
of Parties Serving as Meeting of Parties. Konferensi Para Pihak
Konvensi
Perubahan Iklim yang
merupakan Pertemuan Para Pihak Protokol.
Deforestasi
Penebangan hutan atau
konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara
permanen.
El
Nino/ENSO
Kadangkala disebut ENSO
(El Nino-Southern Oscillation) adalah peristiwa
meningkatnya suhu muka
air laut di sebelah timur hingga tengah Samudra Pasifik.
Peristiwa ini terjadi
pada akhir tahun setiap 2-13 tahun sekali dan berlangsung
selama 12-18 bulan.
Emisi
Zat yang dilepaskan ke
atmosfer yang bersifat sebagai pencemar udara.
ET
Emission
Trading. Mekanisme perdagangan emisi antar
negara maju untuk
menghasilkan AAU (Assigned
Amount
Unit), satuan penurunan emisi
GRK.
x
GWP
Global
Warming Potential. Indeks potensi pemanasan global, yaitu indeks yang
mengunakan CO2 sebagai
tolok ukur.
Gigaton
(109 ton) - unit yang
kerap digunakan untuk menyatakan jumlah karbon atau
karbondioksida di
atmosfer.
Gletser
Lapisan es yang besar
yang bergerak di lereng gunung atau daratan karena adanya
gaya gravitasi. Gletser
biasanya bergerak sangat lambat, dari 10 m - 1000 m per
tahun. Lapisan es ini
luasnya bisa menyamai sebuah benua, contohnya lapisan es
yang menutupi Benua
Antartika.
HFCs
Hidrofluorokarbon. Salah
satu dari enam GRK yang diperhitungkan dalam pasal 3
Protokol Kyoto.
HPH
Hak Pengusahaan Hutan.
Izin yang dikeluarkan untuk kegiatan pengelolaan hutan
dengan sistim Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di kawasan hutan-hutan alam
produksi selama periode
tertentu, umumnya 20 tahun, dan dapat diperbaharui lagi
untuk satu periode
selanjutnya, yaitu selama 20 tahun lagi.
HTI
Hutan Tanaman Industri
adalah program penanaman lahan hutan tidak produktif
dengan tanaman-tanaman
industri seperti pohon kayu jati dan mahoni guna memasok
kebutuhan serat kayu
(dan kayu pertukangan) untuk pihak industri.
IPCC
Intergovernmental
Panel on Climate Change adalah suatu panel ilmiah yang terdiri
dari para ilmuwan dari
seluruh dunia. Panel ini bertugas untuk mengkaji atau meneliti
semua aspek dari masalah
perubahan iklim.
xi
INC
Intergovernmental
Negotiating Organization. Panitia yang dibentuk PBB untuk
mempersiapkan penyusunan
UNFCCC sebelum dan sesudah Earth Summit (1992) di
Rio de Janeiro.
JI
Joint
Implementation adalah sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat
dilakukan oleh
antarnegara maju untuk menghasilkan ERU (Emission Reduction Unit),
satuan penurunan emisi
GRK.
Karbondioksida
(lihat CO2)
Keanekaragaman
Hayati
Kadangkala disebut biological
diversity atau biodiversity, adalah keanekaragaman
mahluk hidup dan hal-hal
yang berhubungan dengan ekologinya, dimana mahluk
hidup tersebut terdapat.
Keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman genetik,
spesies dan ekosistem.
LULUCF
Land-use,
Land-use Change and Forestry adalah kegiatan yang berkaitan
dengan
penggunaan dan perubahan
tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh
langsung terhadap emisi
GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon,
seperti dalam hal
penebangan dan kebakaran hutan.
MW
Megawatt = 1 juta watt
Reforestasi
Umumnya berarti
penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut
Marrakech
Accord (2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan
yang telah rusak sebelum
31 Desember 1989.
Salinitas
Kemasinan atau kadar
garam yang terdapat dalam sebuah larutan.
Simpanan
Karbon
Banyaknya kandungan
karbon yang ada di pohon
pada suatu areal hutan.
Asumsinya pohon
menyerap dan menyimpan
CO2.
xii
TSCF
Terra
Standart Cubic Feet = 1012 SCF (Standard Cubic Foot)
tC/Tj
ton Coal/Terra joule
Vegetasi
Tumbuh-tumbuhan pada
suatu area yang terkait sebagai suatu komunitas tetapi
tidak secara taksonomi.
Atau, jumlah tumbuhan yang meliputi wilayah tertentu
atau di atas bumi secara
menyeluruh.
UNFCCC
United
Nations Framework Convention on Climate Change adalah
Konvensi PBB tentang
perubahan iklim yang
bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK sehingga tidak
membahayakan sistem
iklim bumi. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia
melalui UU No.6/1994.
UNEP
United
Nations Environment Programme adalah sebuah badan PBB yang
berwenang
untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat dan negara anggota PBB akan masalahmasalah
lingkungan.
WMO
World
Meteorological Organization adalah suatu badan organisasi
dunia yang bergerak
di bidang meteorologi.
1
Pernahkah anda mendengar
tentang rumah kaca?
Rumah yang atap dan
dindingnya terbuat dari
kaca. Rumah ini biasa
digunakan untuk
pembibitan pada kegiatan
perkebunan
dan berfungsi untuk
menghangatkan
tanaman yang berada di
dalamnya.
Sebagai ilustrasi,
pernahkah anda
berada di dalam sebuah
mobil yang
tertutup, di bawah panas
terik matahari?
Bagaimana rasanya? Panas
bukan? Hal ini disebabkan oleh sinar matahari yang
masuk menembus kaca
mobil membuat seisi mobil menjadi panas. Panas matahari
tersebut terperangkap di
dalam mobil, tidak dapat menembus ke luar
kaca mobil.
Hal di atas juga terjadi
pada
bumi, di mana radiasi
yang dipancarkan
oleh matahari,
menembus lapisan
atmosfer dan
masuk ke bumi. Radiasi
matahari yang masuk ke
bumi -
dalam bentuk gelombang
pendek - menembus
atmosfer
bumi dan berubah menjadi
gelombang panjang ketika
mencapai permukaan bumi.
2
Setelah mencapai
permukaan bumi, sebagian
gelombang dipantulkan
kembali ke atmosfer.
Namun sayangnya, tak
semua gelombang panjang
yang dipantulkan kembali
oleh bumi dapat
menembus atmosfer menuju
angkasa luar karena
sebagian dihadang dan
diserap oleh gas-gas yang
berada di atmosfer -
disebut gas rumah kaca
(GRK).
Akibatnya radiasi matahari tersebut
terperangkap di atmosfer
bumi. Karena peristiwa
ini berlangsung berulang
kali, maka kemudian
terjadi akumulasi
radiasi matahari di atmosfer
bumi yang menyebabkan
suhu di bumi menjadi
semakin hangat.
Peristiwa alam ini
dikenal dengan efek rumah
kaca
(ERK), karena peristiwanya serupa dengan
proses yang terjadi di
dalam rumah kaca. Jadi
peristiwa efek rumah
kaca bukanlah efek yang
ditimbulkan oleh
gedung-gedung kaca, seperti
yang selama ini sering
disalahartikan.
Peristiwa ERK
menyebabkan bumi menjadi hangat
dan layak untuk
ditempati manusia. Jika tidak
ada ERK, maka suhu
permukaan bumi akan 33°C
lebih dingin dibanding
suhu saat ini. Namun
berbagai aktivitas
manusia, terutama proses
industri dan
transportasi, menyebabkan GRK yang
diemisikan ke atmosfer
terus meningkat.
Alhasil, terjadilah
perubahan komposisi GRK di
atmosfer. Hal ini
kemudian menyebabkan radiasi
yang dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi
ke luar angkasa
terhambat sehingga menyebabkan
terjadinya akumulasi
panas di atmosfer.
Gas rumah kaca (GRK)
adalah gas-gas
di atmosfer yang
dihasilkan dari
berbagai kegiatan
manusia. Gas ini
berkemampuan untuk
menyerap
radiasi matahari di
atmosfer sehingga
menyebabkan suhu di
permukaan bumi
menjadi lebih hangat.
Meningkatnya konsentrasi
GRK di
atmosfer akibat
aktivitas manusia
pada akhirnya
menyebabkan meningkatnya
suhu permukaan bumi
secara
global.
Dalam Konvensi PBB mengenai
Perubahan Iklim (United
Nations
Framework Convention on
Climate
Change - UNFCCC), ada
enam jenis gas
yang digolongkan sebagai
GRK, yaitu
karbondioksida (CO2),
dinitroksida
(N2O), metana (CH4),
sulfurheksafluorida
(SF6), perfluorokarbon
(PFCs)
dan hidrofluorokarbon
(HFCs).
GRK terutama dihasilkan
dari kegiatan
manusia yang berhubungan
dengan
penggunaan bahan bakar
fosil
(minyak, gas dan
batubara) seperti
pada penggunaan
kendaraan bermotor
dan penggunaan alat-alat
elektronik.
Selain itu penebangan
pohon,
penggundulan hutan serta
kebakaran
hutan juga merupakan
sumber emisi
GRK.
Jenis GRK yang terbanyak
memberikan
sumbangan pada
peningkatan emisi
3
Perubahan iklim sendiri
merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya
bersifat global,
disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu,
dampaknya juga bersifat
global, dirasakan oleh
seluruh mahluk hidup di
berbagai belahan
dunia. Oleh karena itu
solusinya pun harus
bersifat global, namun
dalam bentuk aksi lokal
di seluruh dunia.
Perubahan iklim itu
sendiri terjadi secara
perlahan dalam jangka
waktu yang cukup
panjang, antara 50-100
tahun. Walaupun
terjadi secara perlahan,
perubahan iklim memberikan
dampak yang sangat besar
pada kehidupan umat
manusia. Sebagian besar
wilayah di dunia akan
menjadi semakin panas,
sementara bagian
lainnya akan berubah
semakin dingin. Saat
inipun dampaknya sudah
mulai kita rasakan.
Singkat kata,
meningkatnya konsentrasi GRK di
atmosfer akibat
aktivitas manusia di berbagai
belahan dunia,
menyebabkan meningkatnya
radiasi yang
terperangkap di atmosfer. Akibatnya,
suhu rata-rata di
seluruh permukaan bumi
meningkat. Peristiwa ini
disebut Pemanasan Global.
Meningkatnya suhu
rata-rata permukaan bumi
menyebabkan terjadinya
perubahan pada unsurunsur
iklim lainnya, seperti
naiknya suhu air laut,
meningkatnya penguapan
di udara, serta
berubahnya pola curah
hujan dan tekanan udara
yang pada akhirnya
merubah pola iklim dunia.
Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan Perubahan
Iklim.
GRK adalah CO2, CH4 dan
N2O. Gas-gas
ini dihasilkan terutama
dari
pembakaran bahan bakar
fosil di
sektor energi,
transportasi dan
industri. Sementara gas
seperti HFCs,
PFCs dan SF6, yang
dihasilkan
terutama dari industri
pendingin
(freon) dan penggunaan
aerosol,
"hanya"
menyumbang kurang dari 1%
total emisi GRK.
Walaupun hanya 1%
tetapi gas-gas tersebut
punya potensi
pemanasan yang jauh
lebih tinggi
dibanding gas CO2, CH4 dan
N2O (lihat
boks 1.4). Pada akhirnya
jumlah yang
diemisikan pun tak beda
dengan gas
CO2, CH4 dan N2O.
4
Secara umum iklim
didefinisikan
sebagai kondisi
rata-rata suhu, curah
hujan, tekanan udara,
dan angin
dalam jangka waktu yang
panjang,
antara 30-100 tahun (inter
centennial).
Pada intinya iklim
adalah pola cuaca
yang terjadi selama
bertahun-tahun.
Sementara cuaca itu
sendiri adalah
kondisi harian suhu,
curah hujan,
tekanan udara dan angin.
A.
Dampak Perubahan Iklim
1.
Mencairnya Es di Kutub
Perubahan iklim juga
menyebabkan mencairnya
es dan gletser di
seluruh dunia, terutama di Kutub
Utara dan Selatan.
Diketahui bahwa es yang
menyelimuti permukaan
bumi telah berkurang
10% sejak tahun 1960.
Sementara ketebalan es
di Kutub Utara telah
berkurang 42% dalam 40
tahun terakhir (Fred
Pearce, 2001).
Diperkirakan pada tahun
2100, gletser yang
menyelimuti pegunungan
Himalaya seluas 33.000
km2 akan mencair.
Ilmuwan Eropa juga
memperkirakan sekitar
50-90% gletser di
pegunungan Alpen akan
menghilang. Diperkirakan pegunungan salju Australia akan
“bebas salju” pada tahun
2070. Sementara menurut penelitian Lonnie Thomson dari
Byard Polar Research
Center - Universitas Ohio, diperkirakan seluruh salju di
pegunungan Kilimanjaro
akan mencair pada tahun 2015 akibat pemanasan global
(Fred Pearce, 2001).
2.
Pergeseran Musim
Selain itu, perubahan
iklim juga
menyebabkan terjadinya
pergeseran
musim, di mana musim
kemarau
akan berlangsung lama
sehingga
menimbulkan bencana
kekeringan
dan penggurunan. Para
ilmuwan
memperkirakan bahwa
kekeringan
akan melanda Afrika,
Eropa, Amerika
Utara, dan Australia.
5
Sementara musim hujan
akan berlangsung dalam waktu singkat
dengan kecenderungan
intensitas curah hujan yang lebih
tinggi dari curah hujan
normal sehingga menyebabkan
bencana banjir dan tanah
longsor.
Terbukti bahwa di
wilayah Asia Tenggara serta beberapa
Istilah-istilah di atas
biasanya
digunakan untuk
menggambarkan
masalah yang sama. Namun
sesungguhnya
istilah-istilah tersebut
lebih menunjukkan
hubungan sebabakibat.
Efek rumah kaca adalah
penyebab,
sementara pemanasan
global dan
perubahan iklim adalah
akibat.
Efek rumah kaca
menyebabkan
terjadinya akumulasi
panas di
atmosfer, yang kemudian
akan
mempengaruhi sistem
iklim global.
Hal ini bisa menyebabkan
naiknya
temperatur rata-rata
bumi yang
kemudian dikenal dengan
pemanasan
global.
Pemanasan global pada
akhirnya
menyebabkan terjadinya
perubahan
iklim, atau tepatnya
perubahan
beberapa variabel iklim
seperti suhu
udara, curah hujan dan
musim.
wilayah lainnya yang
rentan terhadap
badai dan angin
puting beliung telah
mengalami badai
yang lebih dahsyat,
hujan yang lebih deras
serta lebih banyak bencana
banjir. Sementara di
beberapa wilayah di Indonesia
juga sudah terbukti
mengalami bencana
banjir dan longsor.
3.
Peningkatan Permukaan Air Laut
Dampak perubahan iklim
yang lainnya adalah
meningkatnya permukaan
air laut. Menurut IPCC
(Intergovernmental Panel
on Climate Change),
panel ahli untuk isu
perubahan iklim, dalam 100
tahun terakhir telah
terjadi peningkatan
permukaan air laut
setinggi 10-25 cm. Sementara
itu diperkirakan bahwa
pada tahun 2100
mendatang akan terjadi
peningkatan air laut
setinggi 15-95 cm
(Greenpeace, 1998).
Sebagai ilustrasi,
peningkatan permukaan air laut
setinggi 1 m akan
menyebabkan hilangnya 1%
daratan Mesir, Belanda
6%, Bangladesh sebesar
17,5% dan 80% atol di
Kepulauan Marshall
menghilang (Fred Pearce,
2001).
6
Perubahan iklim juga
menyebabkan negara-negara
kepulauan seperti
Karibia, Fiji, Samoa, Vanuatu,
Jepang, Filipina serta
Indonesia terancam
tenggelam akibat naiknya
permukaan air laut. Ini
berarti puluhan juta
orang yang hidup di pesisir
pantai harus mengungsi
ke daerah yang lebih
tinggi.
4.
Dampak Lainnya
Selain dampak-dampak di
atas, perubahan iklim
juga akan menyebabkan
terjadinya krisis
persediaan makanan
akibat tingginya potensi
gagal panen, krisis air
bersih, meluasnya
penyebaran penyakit
tropis seperti malaria,
demam berdarah dan
diare, kebakaran hutan, serta
hilangnya jutaan spesies
flora dan fauna karena
tidak dapat beradaptasi
dengan perubahan suhu
di bumi.
Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan
iklim merupakan
ancaman serius bagi
kelangsungan hidup
umat manusia serta
mahluk hidup lain.
Dampak GRK terhadap
pemanasan global
sangat bervariasi. Untuk
jumlah
konsentrasi yang sama,
tiap GRK
memberikan dampak
pemanasan global
yang berbeda. Untuk
memudahkan
dalam membandingkan
dampak yang
berlainan ini, maka
dipakailah Indeks
Potensi Pemanasan Global
(GWP - Global
Warming
Potential).
Indeks GWP ditentukan
dengan
menggunakan CO2 sebagai
acuan,
yaitu dengan cara
membandingkan
satu satuan berat GRK
tertentu dengan
sejumlah CO2 yang
memberikan
dampak pemanasan global
yang sama.
Misalnya satu ton emisi
gas metana
(CH4) akan memberikan
dampak yang
sama dengan 21 gas CO2.
Nilai GWP
masing-masing GRK dapat
dilihat pada
tabel.
Tabel
Indeks Potensi Pemanasan
Global
Beberapa GRK Terhadap CO2
dalam
Waktu 100 tahun (GWP 1994)
Jenis Gas
Indeks Potensi
Pemanasan Global
CO2 1
CH4 21
N2O 310
HFCs 500
SF6 9200
Sumber:
KLH, Indonesia: The
First National Communicati-
on, 1999.
7
Selain itu dampaknya
tidak hanya terjadi di satu
negara atau di satu
wilayah, tapi di seluruh dunia,
melintasi batas negara.
Walaupun begitu, tingkat
perekonomian yang jauh
di bawah negara maju
serta perekonomian yang
berbasis sumber daya
alam menyebabkan negara
berkembang lebih
rentan terhadap
dampak-dampak yang
ditimbulkan akibat
perubahan iklim dibandingkan
negara maju.
Dalam prosesnya
perubahan iklim terjadi sangat
lamban, sehingga
dampaknya tak langsung
dirasakan saat ini,
namun akan sangat terasa bagi
generasi mendatang. Dan
ketika perubahan iklim
telah terjadi, maka tak
satu upaya pun yang dapat
dilakukan untuk
mengembalikan kondisi ke
keadaan semula.
Apapun upaya yang
dilakukan, perubahan iklim
akan tetap terjadi. Ini
dikarenakan emisi gas
rumah kaca yang
dihasilkan dari aktivitas manusia
telah meningkat dengan
pesat sejak dimulainya
revolusi industri pada
tahun 1850. Walaupun
begitu, kita harus
berupaya memperlambat
terjadinya proses
perubahan iklim. Salah satunya
dengan cara mengurangi
konsumsi bahan bakar
fosil yang pastinya akan
menghasilkan emisi GRK.
El Nino, yang dalam
bahasa Spanyol
berarti anak laki-laki,
adalah sebuah
fenomena naiknya suhu
permukaan
laut di sebelah timur
dan tengah di
kawasan tropis Samudra
Pasifik.
El Nino merupakan sebuah
fenomena
alami yang telah terjadi
sejak
berabad-abad yang lalu,
walaupun
tidak selalu dengan pola
yang sama.
Biasanya El Nino muncul
setiap 2-13
tahun sekali, pada akhir
tahun, dan
berdampak pada
menurunnya curah
hujan sehingga
menyebabkan
terjadinya kemarau
panjang, terutama
di kawasan Indonesia,
Malaysia, Australia
dan kawasan sekitarnya.
Beberapa ilmuwan
berpendapat bahwa
perubahan iklim
mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap
kehadiran El Nino.
Kondisi atmosfer yang
panas akan
menyebabkan kehadiran El
Nino jadi
lebih sering dan lebih
kuat daripada
biasanya.
Dengan demikian dampak
perubahan iklim tidak terjadi dalam waktu yang singkat
dan perubahannya pun tak
dalam bentuk yang ekstrem, sehingga manusia serta
mahluk hidup lainnya
dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan alam yang
terjadi.
8
Seperti yang telah
disebutkan
sebelumnya bahwa
aktivitas
manusia merupakan
penyebab
utama terjadinya
perubahan iklim.
Selain itu pertambahan
populasi
penduduk dan pesatnya
pertumbuhan
teknologi dan industri
ternyata
juga memberikan
kontribusi
besar pada pertambahan
GRK.
Akibat jenis aktivitas
yang berbedabeda,
maka GRK yang
dikontribusikan oleh
Tabel 2.1
Emisi
GRK Indonesia Tahun 1994
Sumber
CO2 CH4
N2O *CO2 eq
%
(kT) (kT) (kT) (kT)
Total Energi 170,02 2,40
5,72 220,2 24,84
Proses Industri 19,12 -
0,51 19,15 2,16
Pertanian - 3,24 52,86
71,35 8,05
Perubahan Tata Guna
Lahan dan
Kehutanan
559,47 367 2,52 567,33
64
Sampah - 402 - 8,44 0,95
Total 748,61
774,64 61,61 886,47 100
Sumber:
KLH, Indonesia: The
First National Communication, 1999.
setiap negara ke
atmosfer
pun porsinya
berbedabeda.
Di Indonesia sendiri
GRK yang berasal dari
aktivitas manusia dapat
dibedakan atas beberapa
hal, yaitu (1) kerusakan
hutan termasuk perubahan
tata guna lahan, (2)
pemanfaatan energi
fosil,
(3) pertanian dan
peternakan,
serta (4) sampah.
9
Pemanfaatan energi
secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab
utama terjadinya
perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin rusak, baik
karena kejadian alam
maupun penebangan liar, juga menambah jumlah GRK yang
dilepaskan ke atmosfer
secara signifikan serta fungsi hutan sebagai penyerap emisi
GRK.
Selain itu pertanian dan
peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang
GRK berupa gas metana
(CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21
kali lebih besar
daripada gas karbondioksida (CO2) (lihat boks 1.4).
Tabel 2.1 menunjukan
bahwa sumber utama GRK di Indonesia ternyata berasal dari
kegiatan perubahan tata
guna lahan dan kehutanan, yaitu sekitar 63%. Sementara
sektor energi menempati
urutan kedua, yaitu sekitar 25% dari total emisi.
A.
Kehutanan
Indonesia merupakan
salah satu negara di dunia
dengan luas hutan
terbesar, yaitu 120,3 juta hektar
(FWI/GFW, 2001). Sekitar
17% dari luasan
tersebut adalah hutan
konservasi dan 23%
hutan lindung, sementara
sisanya adalah
hutan produksi (FWI/
GFW, 2001).
Dari sisi keanekaragaman
hayati, Indonesia
termasuk negara paling
kaya akan
keanekaragaman hayati.
Menurut situs
web Indonesian
National Parks, Indonesia
memiliki sekitar 10%
spesies
tanaman dari seluruh
tanaman di dunia,
12% spesies mamalia
(terbanyak di seluruh
dunia), 16% reptil dan
amfibi, 17% spesies
burung dan lebih dari
25% spesies ikan di
seluruh dunia. Hampir
seluruh spesies tersebut
endemik atau tak
terdapat di negara lain.
10
Padahal jika hutan
beserta keanekaragaman hayatinya dipelihara dengan baik, maka
sesungguhnya akan
memberikan keuntungan bagi Indonesia, baik secara sosial maupun
ekonomi. Apalagi
sektor-sektor seperti kehutanan, pertanian dan perikanan,
kesehatan, ilmu
pengetahuan, industri dan pariwisata, sesungguhnya sangat
bergantung pada
keberadaan keanekaragaman hayati.
Selama ini yang terjadi
justru sebaliknya. Sejak tahun 1970-an, kerusakan hutan
mulai menjadi isu
penting, dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka
secara besar-besaran.
Menurut data Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan
pada tahun 1985-1997
telah mencapai sebesar 2,2 juta per tahun (FWI, 2001).
Kerusakan hutan terutama
disebabkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan (yang
disengaja dan tidak
disengaja), perkebunan skala besar serta kerusakan- kerusakan
yang ditimbulkan HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri).
Salah satu fungsi hutan
sendiri adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga
disebut emisi karbon).
Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2),
salah satu jenis GRK,
menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi
mahluk hidup. Ini
berarti dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar
144 juta ha (tahun
2002), sudah tentu emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya
tak sedikit, sehingga
laju terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim
dapat dihambat.
Adapun jumlah CO2 yang
telah diserap oleh hutan Indonesia
pada tahun 1990 adalah
sebesar 1500 MtCO2 (In11
donesia:
The First National Communication under UNFCCC,
1990). Sedangkan pada
tahun 1994, hutan Indonesia hanya
menyerap sekitar 404
MtCO2 (NET dan Pelangi, 2000). Jadi,
hanya dalam waktu 4
tahun, hutan Indonesia
sudah
"berhasil" melepaskan
emisi GRK ke atmosfer
sebesar 1.096
MtCO2.
Pada tabel 2.1 terlihat
bahwa sektor
kehutanan menyumbangkan
emisi
GRK tertinggi, yang
dihasilkan
melalui kegiatan
kehutanan dan
perubahan kawasan hutan
menjadi bukan hutan.
Kegiatan
pengrusakan hutan akan
menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK, yang sebelumnya
disimpan di dalam pohon,
ke atmosfer. Berarti jika laju kerusakan hutan semakin
tinggi, maka emisi GRK
yang lepas ke atmosfer pun akan semakin besar jumlahnya.
Dengan laju kerusakan
hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun, tak heran jika sektor
kehutanan merupakan
penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia.
Pada tahun 1990, emisi
CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan dan perubahan
tata guna lahan adalah
sebesar 64% dari total emisi GRK di Indonesia. Sementara
pada tahun 1994, angka
tersebut meningkat menjadi 74% (Pelangi, 2000).
Tahun 1997-1998 terjadi
kebakaran hutan yang cukup besar di Indonesia, dimana
80% dari kejadian
tersebut terjadi di lahan gambut. Sementara lahan gambut sendiri
merupakan penyerap emisi
karbon, terbesar di dunia. Akibat peristiwa
kebakaran tersebut,
sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan
ke atmosfer. Angka ini
setara dengan 13-40% total emisi karbon
dunia yang dihasilkan
dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian
finansial yang harus
ditanggung oleh Indonesia akibat peristiwa
ini adalah sebesar US$ 3
milyar dari hilangnya kayu, pertanian,
produksi hutan non-kayu,
konservasi tanah, dan lain-lain (Susan E.
Page, et al, 2002).
12
Jika tidak segera
diatasi, maka kerusakan hutan di Indonesia akan mengakibatkan
akumulasi GRK di
atmosfer meningkat dengan cepat, sehingga menambah cepat laju
proses perubahan iklim.
B.
Energi
Dapat dikatakan
kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari
energi listrik dan bahan
bakar fosil. Ketergantungan itu ternyata
membawa dampak yang
buruk bagi kehidupan umat
manusia. Penggunaan
bahan bakar fosil seperti minyak
bumi, batubara dan gas
alam dalam berbagai kegiatan,
misalnya pada pembangkitan
listrik, transportasi dan
industri, akan memicu
bertambahnya jumlah emisi GRK di
atmosfer. Walaupun
sama-sama menghasilkan emisi GRK,
namun emisi yang
dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis
bahan bakar fosil
tersebut berbeda-beda.
Tabel 2.2
Kandungan
Emisi Karbon Tiap Jenis Bahan Bakar
Jenis
Bahan Bakar Emisi CO2 /kWh
(gr CO2)
Batubara 940
Minyak Bumi 798
Gas Alam Cair 581
Sumber:
May Antoinette Ajero, Estimating
CO2 Emissions Reduction by Example,
2003.
Dari tabel 2.2
menunjukan bahwa untuk
menghasilkan energi
sebesar 1 kWh,
pembangkit listrik yang
menggunakan
batubara mengemisikan
sekitar 940 gram
CO2. Sementara
pembangkit listrik yang
menggunakan minyak bumi
dan gas alam,
menghasilkan emisi
sekitar 798 dan 581
gram CO2.
Jadi terbukti bahwa diantara
ketiga jenis
bahan bakar fosil di
atas, batubara menghasilkan emisi CO2 paling tinggi daripada
minyak bumi dan gas alam
cair. Apalagi hingga kini Indonesia masih belum menerapkan
teknologi pemanfaatan
batubara yang ramah lingkungan.
Selain penggunaan
pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara yang tidak ramah
lingkungan, Indonesia
juga termasuk sebagai negara pengkonsumsi energi terbesar
di Asia, setelah Cina,
Jepang, India dan Korea Selatan. Total konsumsi energi di
13
Indonesia melonjak
tinggi sekitar 4 kali selama dua dekade terakhir ini, dari sekitar
174 juta Setara Barel
Minyak (BOE= Barrel of Oil Equivalent) pada tahun 1980 menjadi
sekitar 666 juta BOE di
tahun 2000 (DJLPE, 2002).
Tabel 2.3.
Sumber
Energi di Indonesia
Jenis Energi Total
Cadangan Cadangan Terbukti Produksi
Rasio Cadangan Terbukti
terhadap Produksi
Minyak Bumi 9,75 milyar
barel 4,72 milyar barel 500 juta barel 10 tahun
Gas Alam 507 TSCF 90
TSCF 2,9 TSCF 30 tahun
Batubara 50 milyar ton 5
milyar ton 100 juta ton 50 tahun
Panas Bumi 19,66 GW -
802 MW 1) -
Tenaga Air 75,67 GW -
3,85 GW 2) -
Sumber:
Yoga Pratomo, International
Workshop on Biomass and Clean Fossil Fuel Power Plant Technology, 2004.
1) Kapasitas terpasang
PLTP
2) Kapasitas terpasang
PLTA
Catatan:
BOE = Barrel Oil
Equivalent, TSCF = Terra Standard Cubic Feet, MW = Megawatt,
T = Ton
Tingginya konsumsi
energi, disebabkan oleh adanya pemahaman keliru yang
menyatakan bahwa
Indonesia sangat kaya akan minyak, gas dan batubara, dimana
cadangannya tidak akan
pernah habis. Kita seringkali lupa bahwa untuk mendapatkan
bahan bakar fosil kita
harus menunggu ribuan hingga jutaan tahun. Sementara
cadangan bahan bakar
fosil yang ada saat ini di Indonesia (dan juga di dunia) sudah
mulai menipis.
14
Dengan cadangan terbukti
sekitar 5 milyar barel dan
tingkat produksi sekitar
500 juta barel, maka
minyak bumi Indonesia
akan habis kurang
dari 10 tahun mendatang,
yaitu pada
tahun 2013. Untuk gas
alam dengan
kapasitas produksi
sekitar 3 TSCF, maka
cadangan terbuktinya
yang hanya 90 TSCF akan habis
dalam 3 dekade (30
tahun) mendatang. Sementara,
batubara dengan cadangan
terbukti sebesar 50 ton
hanya mampu bertahan
selama 50 tahun, jika produksi tetap dipertahanan seperti
sekarang yaitu sebesar
100 juta ton/tahun. Namun, seperti yang telah diuraikan di
atas, pemanfaatan
batubara akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan, karena
sebagai menghasilkan
emisi karbon yang lebih tinggi dibanding minyak maupun gas
bumi.
Dari sisi pemanfaatan
energi, sektor industri
di Indonesia merupakan
sektor yang
mengemisikan karbon
paling besar dibanding
sektor lainnya (lihat
grafik 1). Sementara
sektor transportasi
menempati posisi ke-2
pengemisi karbon
tertinggi.
Sama dengan pemanfaatan
energi listrik,
konsumsi Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Indonesia
mengalami peningkatan
tiap
tahunnya. Menurut
Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral
(2003), sekitar 70% total konsumsi energi final di Indonesia
pada 2002 berupa BBM.
Menempati urutan kedua adalah listrik, yaitu sekitar 10%.
C.
Pertanian dan Peternakan
Sektor pertanian juga
memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi GRK,
khususnya gas metana (CH4)
yang dihasilkan dari sawah tergenang. Sektor pertanian
menghasilkan emisi gas
metana tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya.
15
Selain metana, GRK lain
yang dikontribusikan dari sektor
pertanian adalah dinitro
oksida (N2O) yang dihasilkan dari
pemanfaatan pupuk serta
praktek pertanian. Pembakaran
padang sabana dan
sisa-sisa pertanian yang membusuk juga
merupakan sumber emisi
GRK.
Sektor peternakan juga
tak kalah dalam mengemisikan
GRK, karena ternyata
kotoran ternak yang membusuk
akan melepaskan gas
metana (CH4) ke atmosfer. Sebagai
ilustrasi, setiap 1 kg
kotoran ternak melepaskan sekitar
230 liter gas metana ke
atmosfer (S. V. Srinivasan).
Padahal, kalau saja kita
mau sedikit berupaya untuk
mengolahnya, kotoran
ternak bisa mendatangkan
keuntungan. Salah
satunya bisa diolah menjadi biogas, bahan
bakar yang murah dan
ramah lingkungan.
D.
Sampah
Kegiatan manusia selalu
menghasilkan sampah. Sampah merupakan masalah besar
yang dihadapi oleh
kota-kota besar di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan
Hidup mengatakan bahwa
pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia
menghasilkan sampah 0,8
kg per hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang
per hari pada tahun
2000. Diperkirakan timbunan sampah pada tahun 2020 untuk
tiap orang per hari
adalah sebesar 2,1 kg.
Sampah sendiri turut
menghasilkan
emisi GRK berupa gas
metana,
walaupun dalam jumlah yang
cukup
kecil dibandingkan emisi
GRK yang
dihasilkan dari sektor
kehutanan
dan energi. Diperkirakan
1 ton
sampah padat
menghasilkan sekitar
50 kg gas metana.
16
Dengan jumlah penduduk
yang terus meningkat,
diperkirakan pada tahun
2020 sampah yang
dihasilkan per hari
sekitar 500 juta kg
atau sekitar 190 ribu
ton per tahun.
Dengan jumlah sampah
yang
sedemikian besar, maka
Indonesia
akan mengemisikan gas
metana ke
atmosfer sekitar 9500
ton per tahun.
Jika sampah kota tidak
dikelola secara
benar, maka laju
pemanasan global dan
perubahan iklim akan
semakin cepat,
mengingat potensi
pemanasan global CH4
yang besarnya 21 kali
potensi pemanasan global CO2 (lihat boks 1.4).
17
Perubahan iklim
merupakan fenomena global,
dimana dampaknya akan
dirasakan
secara global oleh
seluruh umat manusia di
seluruh belahan bumi.
Terlepas dari apakah
daerah tersebut
berkontribusi terhadap terjadinya
perubahan iklim atau
tidak.
Indonesia pun tak luput
dari dampak
perubahan iklim. Kondisi
sebagai negara
kepulauan yang beriklim tropis
membuat
Indonesia berada dalam
posisi yang
sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Naiknya muka air laut sebagai salah satu
dampak perubahan iklim
yang menyebabkan terancamnya jutaan penduduk yang
tinggal di daerah
pesisir pantai. Selain itu para petani dan nelayan yang mata
pencahariannya sangat
bergantung pada cuaca dan musim juga rentan terhadap
dampak perubahan iklim.
A.
Posisi Geografis Indonesia
Indonesia terbentang
dari 6 derajat
Lintang Utara (LU)
sampai 11 derajat
Lintang Selatan (LS) dan
9 sampai 141
derajat Bujur Timur
(BT), dengan jumlah
total pulau terbesar di
dunia, yaitu
17.500 pulau. Dari
jumlah tersebut,
sekitar 6.000 pulau yang
berpenghuni.
18
Sisanya pulau kosong
yang
menjadi habitat satwa
liar.
Dengan banyaknya pulau
yang dimiliki Indonesia,
tak heran jika Indonesia
memiliki garis pantai
nomer 2 terpanjang di
dunia, yaitu 81.000 km
(sekitar 14% dari garis
pantai dunia). Sementara
luas laut Indonesia
mencapai 5,8 juta km2, mendekati 70% luas keseluruhan wilayah
Indonesia.
Dengan posisi geografis
seperti ini, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
iklim yang terjadi
dengan cepat. Pola curah hujan akan berubah dan musim kering
akan bertambah panjang.
Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan
permukaan air laut dan
masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul.
B.
Dampak Perubahan Iklim bagi Indonesia
Perubahan iklim pada
kenyataannya sangat
berdampak terhadap
kelangsungan hidup umat
manusia. Dampak ekstrem
dari perubahan iklim
terutama adalah
terjadinya kenaikan
temperatur serta
pergeseran musim.
Kenaikan temperatur
menyebabkan es dan
gletser di Kutub Utara
dan Selatan mencair.
Peristiwa ini
menyebabkan terjadinya pemuaian
massa air laut dan
kenaikan permukaan air laut.
Hal ini akan menurunkan
produksi tambak ikan
dan udang serta
mengancam kehidupan
masyarakat pesisir
pantai.
19
Studi kasus yang
dilakukan oleh US-EPA di wilayah Semarang,
Jawa Tengah menunjukkan
bahwa ada penurunan jumlah
penjualan ikan tambak
seperti bandeng, gurame dan
udang sebesar 17-37%.
Hal itu disebabkan oleh
banjirnya tambak ikan
akibat naiknya muka air
laut, ditambah
meningkatnya penguapan dan
salinitas air laut.
Kenaikan suhu air laut
juga menyebabkan
terancamnya mata
pencaharian nelayan. Hal ini
disebabkan kenaikan suhu
air laut
membawa banyak perubahan
bagi
kehidupan di bawah laut,
seperti
pemutihan terumbu karang
dan
punahnya berbagai jenis
ikan.
Sementara pergeseran
musim serta
perubahan pola curah
hujan
memberikan dampak yang
sangat
merugikan bagi sektor
pertanian dan perikanan. Hujan akan turun dengan intensitas
yang tinggi, namun dalam
periode yang lebih pendek sehingga berpotensi
menyebabkan banjir dan
longsor. Sementara musim panas terjadi dalam masa yang
lebih panjang, sehingga
menyebabkan kekeringan. Musim yang tidak menentu akan
menyebabkan meningkatnya
peristiwa gagal panen, sehingga kita akan mengalami
krisis pangan secara
nasional.
Berbagai kerugian yang
telah dan akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai
akibat dampak perubahan
iklim adalah sebagai berikut:
1.
Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Pemanasan global
diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi ratarata
sebesar 1°C pada tahun
2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi
dari jaman pra industri,
tahun 1750-1800 (IPCC, 2001).
20
Pada jaman pra industri
(sebelum tahun 1850), konsentrasi CO2 tercatat sekitar 290
ppm. Namun pada tahun
1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga 353 ppm.
Dengan pola konsumsi
energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100
konsentrasi CO2 akan
meningkat hingga dua kali lipat dibanding jaman pra industri,
yaitu sebesar 580 ppm.
Tabel 3.1.
Konsentrasi
GRK Menurut Skenario IPPC
Tahun
CO2
(ppm)
Perubahan
Suhu
Global
(oC)
Kenaikan
Muka Air
Laut
(cm)
1990 354 0 0
2000 367 0,2 2
2050 463-623 0,8-2,6
5-32
2100 478-1.099 1,4-5,8
9-88
Sumber:
IPPC, 2001.
Menurut IPCC (2001),
dengan
meningkatnya konsentrasi
CO2
sebanyak dua kali lipat,
maka
diperkirakan peningkatan
suhu bumi yang akan
terjadi
adalah sebesar
1,4-5,8°C.
Di Indonesia sendiri
telah
terjadi peningkatan suhu
udara sebesar 0,3°C
sejak
tahun 1990. Sementara di
tahun 1998, suhu udara
mencapai titik
tertinggi, yaitu
sekitar 1°C di atas suhu
rata-rata tahun 1961-1990 (M. Hulme, 1999).
Beberapa skenario
proyeksi
kenaikan suhu udara di
Indonesia
(CSIRO, 1992 dan 1993)
menunjukan bahwa
peningkatan
konsentrasi CO2 sebesar
dua kali lipat
akan diikuti oleh
peningkatan
suhu udara rata-rata
sebesar
3-4,2°C.
Dampak lain yang
diperkirakan
terjadi akibat perubahan
iklim
adalah tak menentunya
pola
curah hujan. Di beberapa
21
tempat curah hujan
meningkat, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya
banjir dan longsor.
Sementara di sebagian tempat lain curah hujan menurun, sehingga
berdampak pada
terjadinya kekeringan.
2.
Naiknya Permukaan Air Laut
Berbagai studi IPCC
memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air
laut sebesar 1-2 meter
dalam 100 tahun terakhir. Menurut IPCC, pada tahun 2030,
permukaan air laut akan
bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini.
Sebagai dampak naiknya
permukaan air laut, maka banyak pulau-pulau kecil dan
daerah landai di
Indonesia akan hilang. Apabila 'skenario' IPCC terjadi, diperkirakan
Indonesia akan kehilangan
2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan
mundurnya garis pantai
di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik
garis batas 12 mil laut
dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia
akan berkurang.
Menurut studi ALGAS (1997),
jika Indonesia - dan juga negara lainnya - tidak
melakukan upaya apapun
untuk mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun
2070 akan terjadi
kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai
landai, maka garis
pantai akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat. Hal
ini diperkirakan akan
mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan
penduduk yang tinggal di
pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan
sebanyak 800 ribu rumah
di tepi pantai harus dipindahkan atau
diperbaiki. Untuk itu
dana
yang dibutuhkan sekitar
30
milyar rupiah.
Masyarakat nelayan yang
bertempat tinggal di
sepanjang pantai akan
semakin terdesak. Mereka
bahkan kehilangan tempat
tinggal serta
infrastruktur
22
pendukung yang telah
terbangun. Nelayan juga akan kehilangan
mata pencahariannya
akibat berkurangnya jumlah tangkapan
ikan. Hal ini disebabkan
karena tak menentunya iklim sehingga
menyulitkan mereka untuk
melaut.
Naiknya muka air laut
tak hanya mengancam kehidupan
penduduk pantai, tetapi
juga penduduk perkotaan.
Mengapa? Kenaikan air
laut akan memperburuk
kualitas air tanah di
perkotaan, karena intrusi atau
perembesan air laut yang
kian meluas. Jika kita
tak bertindak, maka
tahun 2070, 50% dari 2,3
juta penduduk Jakarta
Utara, sebagai contoh,
tidak lagi memiliki
sumber air minum. Tak hanya
itu, banyak
infrastruktur kota akan rusak karena
"termakan"
oleh salinitas air laut.
Tabel 3.2.
Luas
Lahan yang Rentan Terhadap Intrusi Air Laut dan Kenaikan Muka Air Laut di
Pantai
Utara
Semarang
Penutupan
Lahan Rentan Intrusi
(ha)
Rentan
Kenaikan
Muka Air
Laut
(ha)
Pemukiman 1.627 702,2
Perkantoran 1.256,8
301,8
Sawah 304,5 1.751
Tambak 240,6 184
Total
3.437,9 2.940,8
Sumber:
Bapedal, 1999.
Menurut studi yang
dilakukan
Bapedal di wilayah
Semarang
(lihat tabel 3.2),
ternyata
intrusi air laut akan
sangat
berdampak pada wilayah
pemukiman dan
perkantoran
di Semarang, yaitu
sekitar
2.890 ha (Bapedal,
1999). Ini
berarti hampir 8% dari
luas
Kota Semarang terancam
akan
intrusi laut.
Kenaikan muka air laut
juga
akan merusak ekosistem hutan
bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di
zona pesisir.
Adapun daerah-daerah
pesisir yang termasuk rawan akan dampak kenaikan muka air
laut antara lain sebagai
berikut:
23
a. Pantai
utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang
dan Surabaya. Antara
tahun 1925 -1989, kenaikan permukaan air laut telah
terjadi di Jakarta (4,38
mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya
(5,47 mm/Tahun).
b. Pantai
timur Sumatera.
c. Pantai
selatan, timur dan barat Kalimantan.
d. Pantai
barat Sulawesi.
e. Daerah
rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai barat dan selatan.
Di beberapa Daerah
Aliran Sungai (DAS), akan terjadi perbedaan tingkat air pasang
dan surut yang makin
tajam. Akibatnya, kekerapan terjadinya banjir atau kekeringan
akan semakin terasa. Hal
ini akan semakin parah apabila daya tampung sungai dan
waduk tidak terpelihara
akibat erosi dan sedimentasi.
3.
Dampaknya pada Sektor Perikanan
Pemanasan global
menyebabkan
memanasnya air laut,
sebesar 2-3°C.
Akibatnya, alga yang
merupakan sumber
makanan terumbu karang
akan mati
karena tidak mampu
beradaptasi dengan
peningkatan suhu air
laut. Hal ini
berdampak pada
menipisnya ketersediaan
makanan terumbu karang.
Akhirnya,
terumbu karang pun akan
berubah warna
menjadi putih dan mati (coral
bleaching).
Memanasnya air laut
mengakibatkan
menurunnya jumlah
terumbu karang di Indonesia.
Padahal kepulauan
Indonesia
saat ini memiliki 14.000
unit terumbu karang dengan
luasan total sekitar
85.700 km2 atau sekitar 14% dari terumbu
karang dunia (WRI,
2002).
24
Peristiwa El Nino, biasa
juga disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation)
yang terjadi setiap 2-13
tahun sekali (lihat boks 1.5), pada
tahun 1997-1998
menyebabkan naiknya suhu
air laut sehingga memicu
peristiwa pemutihan
karang terluas, terutama
di wilayah barat
Indonesia. Pemutihan
karang terjadi di
bagian timur Sumatera,
Jawa, Bali dan
Lombok. Menurut
Wilkinson di Indonesia
sudah terjadi pemutihan
karang sebesar
30% (Murdiyarso, 2003).
Di Kepulauan Seribu,
sekitar 90-95% terumbu
karang hingga
kedalaman 25 m mengalami
kematian.
Setelah El Nino berlalu,
terumbu karang yang
rusak punya kesempatan
untuk tumbuh
kembali. Seperti halnya
yang terjadi pada
terumbu karang di Kepulauan
Seribu yang
membaik sekitar 20-30%
dalam waktu 2 tahun. Namun bayangkan jika terjadi
perubahan iklim,
pemutihan karang akan terjadi secara terus menerus, sehingga tak
ada lagi kesempatan bagi
terumbu karang untuk tumbuh dan memperbaiki diri kembali.
Pemutihan karang
menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai
ekonomi tinggi
(contohnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lainlain)
karena tak ada lagi
terumbu karang yang layak untuk dihuni
dan berfungsi sebagai
sumber makanan. Padahal Indonesia
mempunyai lebih dari
1.650 jenis ikan karang, itupun hanya
yang terdapat di wilayah
Indonesia
bagian timur saja belum
terhitung yang berada
wilayah lainnya.
25
Akibat lebih jauh adalah
terjadinya perubahan komposisi
ikan di laut Indonesia.
Ikan yang tak tergantung
pada terumbu karang akan
tumbuh dengan
suburnya. Contohnya,
ikan belanak,
bandeng, tenggiri dan
teri, padahal
ikan tersebut mempunyai
nilai
ekonomis yg lebih rendah
daripada jenis
ikan karang.
Tak hanya itu,
memanasnya air laut akan
mengganggu kehidupan
jenis ikan tertentu
yang sensitif terhadap
naiknya suhu. Ini
mengakibatkan terjadinya
migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin. Akhirnya, Indonesia
akan kehilangan beberapa
jenis ikan. Akibatnya, nelayan lokal akan makin
terpuruk karena
menurunnya hasil tangkapan ikan.
4.
Dampaknya pada Sektor Kehutanan
Diperkirakan akan
terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat
di dalam hutan sebagai
akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam
punah karena tak mampu
beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan
akan berkembang tak
terkendali (KLH, 1998).
Kebakaran hutan
bersumber
pada tiga hal, yaitu
kesengajaan manusia,
kelalaian manusia dan
karena faktor alam.
Kebakaran hutan yang
kita bahas pada
bagian ini adalah yang
disebabkan oleh faktor
alam.
26
Kebakaran hutan yang
disebabkan oleh faktor alam, umumnya
disebabkan oleh
terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan
sekitar hutan.
Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang
cukup lama, seperti
musim kemarau panjang,
mengakibatkan mudah
terbakarnya
ranting-ranting atau
daundaun
akibat gesekan yang
ditimbulkan. Hal ini
menyebabkan
kebakaran hutan dapat
terjadi dalam waktu
singkat
dimana api melahap
sekian
hektar luasan hutan dan
berbagai macam
keanekaragaman
hayati yang berada di
dalamnya. Singkat kata,
peningkatan
suhu meningkatkan
peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu
perubahan iklim yang
berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan
meningkatkan potensi
kebakaran hutan.
Musim kemarau pada tahun
1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta
ha habis terbakar
(Bapenas, 1999). Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1997-
1998, kawasan yang rusak
akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha, termasuk
di dalamnya pertanian
dan padang rumput (FWI/GFW, 2001).
Selain hilangnya
sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan
hilangnya berbagai
keanekaragaman hayati, terutama
yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Belum lagi
dampak sosial dan
kesehatan yang ditimbulkan
bagi masyarakat
setempat.
5.
Dampaknya pada Sektor Pertanian
Dampak paling merugikan
akan melanda sektor
pertanian di Indonesia
akibat pergeseran musim
27
Tabel 3.3.
Luas
Tanaman Padi yang Terkena Bencana Banjir, Kekeringan dan Puso Tahun 1988-1997
Tahun
Keterangan Kebanjiran
(hektar)
Kekeringan
(hektar)
Puso
(hektar)
1987 El-Nino - 430.170 -
1988 La-Nina 130.375
87.373 44.049
1989 Normal 96.540
36.143 15.290
1990 Normal 66.901
54.125 19.163
1991 El-Nino 38.006
867.997 198.054
1992 Normal 50.360
42.409 16.882
1993 Normal 78.480
66.992 47.259
1994 El-Nino 132.975
544.442 194.025
1995 La-Nina 218.144
28.580 51.571
1996 Normal 107.385
59.560 50.649
1997 El-Nino 58.974
504.021 102.254
Sumber:
Jasis dan Karama, 1999.
dan perubahan pola
hujan. Pada umumnya semua bentuk
sistem pertanian sangat
sensitif terhadap variasi iklim.
Terjadinya keterlambatan
musim tanam atau panen akan
memberikan dampak yang
besar baik secara langsung
maupun tak langsung,
seperti ketahanan pangan,
industri pupuk,
transportasi dan lain-lain.
Tak menentunya iklim
berdampak pada turunnya
produksi pangan di
Indonesia, akibatnya Indonesia
harus mengimpor beras.
Pada tahun 1991, Indonesia
mengimpor sebesar 600
ribu ton beras dan
tahun 1994 jumlah beras
yang diimpor lebih dari
satu juta ton (KLH,
1998). Sementara menurut Badan
Pusat Statistik,
produksi padi tahun 2001 menurun
sebesar 3,5 persen atau
2,9 juta ton dibanding tahun
2000 (Kompas, 19 Oktober
2001).
Perubahan iklim yang
berdampak
pada tingginya
intensitas
hujan dalam periode
yang pendek akan
menimbulkan
banjir yang kemudian
menyebabkan produksi
padi
menurun karena sawah
terendam
air. Data dari
Departemen
Pertanian (2003)
menunjukkan
bahwa sawah yang
dilanda banjir mencapai
sekitar 42 ribu hektar.
Dari
lahan seluas itu, lahan
puso
(gagal panen) mencapai
sekitar
7 ribu hektar. Tingginya
curah hujan juga
mengakibatkan
hilangnya lahan
28
karena erosi tanah,
akibatnya kerugian yang diderita
oleh sektor pertanian
mencapai sebesar US$ 6 milyar
pertahun (ADB, 1994).
Dalam data Dinas
Pertanian Cirebon tercatat sekitar
143 ribu hektar lahan
mengalami terlambat tanam
pada bulan Desember dan
Januari (KLH, 1998).
Akibatnya dana simpanan
milik petani seharusnya
untuk modal tanam
digunakan untuk biaya hidup.
Sehingga pada saat musim
tanam tiba, petani sudah
tidak lagi memiliki
modal. Akibatnya petani akan
mengalami penurunan
pendapatan bahkan terjerat
hutang.
Curah hujan yang tinggi
akan menyebabkan tanah
longsor, akibatnya hasil
dari tanaman dataran tinggi akan menurun. Produksi kacang
kedelai misalnya, akan
turun sebanyak 20%, sementara jagung sebanyak 40%, dan
padi 2,5% (ADB, 1994).
Perubahan iklim tak
hanya menyebabkan banjir tetapi juga kekeringan. Sebagaimana
halnya banjir,
kekeringan membawa kerugian yang serupa pada sektor pertanian.
Dari Wonogiri, Jawa
Tengah (2003), dikabarkan bahwa sawah yang mengalami
kekeringan pada musim
kemarau seluas 21.705 hektar hingga petani mengalami
kerugian sebesar Rp 15
milyar
lebih Sementara tanaman
lain
yang mengalami
kekeringan
adalah kacang tanah,
yaitu seluas
11.755 hektar, dimana
2.164
hektar diantaranya puso
(Kompas,
4 Juli 2003).
Ditambah dengan
peristiwa El
Nino dan La Nina kondisi
29
ketersediaan pangan di
Indonesia akan semakin buruk.
6.
Dampaknya pada Sektor Kesehatan
Dampak lain dari
perubahan iklim di Indonesia adalah
meningkatnya frekuensi
penyakit tropis, seperti malaria dan
demam berdarah. Hal ini
disebabkan oleh naiknya suhu udara
yang menyebabkan masa
inkubasi nyamuk semakin pendek.
Dampaknya, nyamuk
malaria dan demam berdarah akan
berkembangbiak lebih
cepat.
Balita, anak-anak dan
usia lanjut sangat rentan terhadap
perubahan iklim.
Terbukti tingginya angka kematian yang
disebabkan oleh malaria
sebesar 1-3 juta pertahun, dimana
80% nya adalah balita
dan anak-anak (WHO, 1997).
Untuk kasus malaria, di
Jawa dan Bali terjadi kenaikan penyakit
malaria, dari 18 kasus
per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi 48
kasus per 100 ribu
penduduk di tahun 2000, atau naik hampir 3
kali lipat (Kompas, 18
Januari 2002). Sementara di luar Jawa
dan Bali, terjadi
peningkatan kasus sebesar 60% dari tahun
1998-2000. Kasus
terbanyak ada di NTT yaitu 16.290 kasus
per 100 ribu penduduk
(Kompas, 18 Januari 2002).
Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995, diperkirakan 15
juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu
diantaranya meninggalnya
dunia (WHO, 1996).
Jika kita tak berupaya
menghambat
terjadinya perubahan
iklim, maka kasus malaria
di Indonesia akan naik
dari 2.705 kasus,
pada tahun 1989, menjadi
3.246 kasus
pada tahun 2070
Sedangkan kasus demam
berdarah naik 4 kali
lipat, dari 6 kasus
menjadi 26 kasus
per-10.000 penduduk, pada
30
periode waktu yang sama
(ALGAS, 1997).
Selain itu, kebakaran
hutan juga menghasilkan
kualitas udara yang
buruk dan menurunkan
derajat kesehatan
penduduk di sekitar lokasi.
Peristiwa kebakaran
hutan tahun 1997
mengakibatkan sekitar
12,5 juta populasi (di
delapan provinsi)
terpapar asap dan debu
(PM10). Penyakit yang
timbul adalah asma,
bronkhitis dan ISPA
(Infeksi Saluran
Pernafasan Akut). Diduga
kebakaran hutan
juga menghasilkan racun
dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan
bagi wanita (Tempo, 27
Juni 1999). Menurunnya kesehatan penduduk mengakibatkan
kerugian berupa
hilangnya 2,5 juta hari kerja. Kebakaran hutan juga menyebabkan
kematian sebanyak 527
kasus (KLH, 1998).
Intensitas hujan yang
tinggi dengan periode yang singkat akan menyebabkan bencana
banjir. Jika terjadi
banjir maka akan mengkontaminasi persediaan air bersih. Pada
akhirnya perubahan iklim
juga berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare
dan leptospirosis yang
biasanya muncul pasca banjir.
Sementara kemarau
panjang juga berdampak
pada timbulnya krisis
air bersih. Sehingga
juga berdampak pada
wabah penyakit diare
dan juga penyakit kulit.
7.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Tahun 2000, Indonesia
telah
mengalami 33 kejadian
banjir, kebakaran
hutan, kemarau, dan 6
bencana angin
topan. Itu semua telah
membawa kerugian
sebesar $150 milyar dan
690 nyawa hilang
(Kompas, 7 Maret 2001).
Sementara dunia
31
sendiri mengalami
kerugian sebesar $300
milyar tiap tahunnya
akibat dampak
perubahan iklim (UNEP,
2001).
Kerugian yang akan
dialami Indonesia jika
terjadi kenaikan muka
air laut setinggi 60
cm adalah sebesar
$11.307 juta pertahunnya.
Kerugian itu terdiri
dari
menyusutnya lahan
persawahan, sawah
pasang surut dan
perkebunan, tambak ikan,
bangunan dan hutan bakau
(Rozari, 1992).
Sementara kerugian
Indonesia di sektor
pertanian akibat
perubahan iklim
diperkirakan sebesar 23
milyar rupiah
per tahunnya. Sementara
sektor pariwisata akan
mengalami
kerugian sebesar 4
milyar rupiah per
tahun (ALGAS, 1997).
Berdasarkan
sumber yang sama,
perbaikan
infrastruktur pesisir
akan
memerlukan dana 42
milyar rupiah
setiap tahunnya.
Di sektor kehutanan,
Indonesia mengalami kerugian akibat kebakaran hutan sebesar
5,96 trilyun rupiah atau
70% dari Pendapatan Domestik Bruto sektor kehutanan
(KLH, 1998). Hal
tersebut terdiri atas hilangnya persediaan air, gangguan hidrologi,
pengendalian erosi,
siklus hara, penguraian limbah, hilangnya penyerapan karbon,
hilangnya keanekaragaman
hayati dan lain-lain.
Kebakaran hutan tahun
1997, telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari 1,2
trilyun rupiah termasuk
2,5 juta hari kerja yang hilang (KLH, 1998). Sementara total
kerugian ekonomi akibat
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997-1998
diperkirakan mencapai
US$ 9,3 milyar (Bappenas, 2000).
32
Selain kerugian secara
finansial, kebakaran hutan juga memberikan dampak sosial
terhadap masyarakat
setempat. Hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan
keharmonisan merupakan
derita yang harus ditanggung oleh penduduk setempat
(KLH, 1998).
33
A.
Masuknya Isu Perubahan Iklim dalam Agenda
Politik
Internasional
Meningkatnya bukti-bukti
ilmiah akan adanya
pengaruh aktivitas
manusia terhadap sistem iklim
serta meningkatnya
kepedulian masyarakat
internasional akan isu
lingkungan global, pada
akhirnya menyebabkan isu
perubahan iklim
menjadi salah satu isu
penting di dalam agenda
politik internasional.
Pada pertengahan tahun
1980-an, berbagai
pertemuan awal atau
konferensi antar pemerintah
mulai diselenggarakan
untuk membicarakan
masalah perubahan iklim.
IPCC, sebuah panel
ilmiah yang terdiri
dari berbagai ilmuwan
dari seluruh
dunia, berdiri pada
tahun 1988 atas
prakarsa WMO (World
Meteorological
Organization) dan UNEP
(United Nations
Environment Programme)
guna
memberikan informasi
ilmiah yang
terkini bagi para
pembuat kebijakan
di berbagai negara.
IPCC berperan untuk
menyediakan
data-data ilmiah terkini
yang
menyeluruh, tidak
berpihak dan
transparan mengenai
informasi teknis,
sosial, dan ekonomi yang
berkaitan
dengan isu perubahan
iklim. Termasuk
di dalamnya informasi
mengenai
sumber penyebab
terjadinya perubahan
iklim, dampak-dampak
yang ditimbulkan
serta strategi yang
perlu
dilakukan dalam hal
pengurangan
emisi (mitigasi) dan
adaptasi.
IPCC, yang dikelola oleh
Sekretariat
IPCC di Jenewa, bertemu
sekali dalam
34
Mengingat pentingnya
bagi pembuat kebijakan
untuk memiliki data-data
ilmiah terkini
yang dapat
dipertanggungjawabkan guna
merespon masalah
perubahan iklim, maka
dibentuklah sebuah badan
bernama Intergovernmental
Panel on Climate Change
(IPCC) oleh UNEP
(United Nations
Environment Programme) dan
WMO (World
Meteorological Organization) pada
tahun 1989. IPCC
merupakan sebuah lembaga
yang terdiri dari para
ilmuwan dari seluruh dunia
yang bertugas untuk
meneliti fenomena
perubahan iklim secara
ilmiah serta kemungkinan
solusinya.
Pada tahun 1990, IPCC
mengeluarkan hasil
penelitiannya yang
pertama (First
Assessment Report). Di
dalam laporan tersebut
dipastikan
bahwa perubahan iklim
merupakan
sebuah ancaman bagi
kehidupan seluruh umat
manusia.
IPCC menyerukan pentingnya
sebuah kesepakatan
global
untuk menanggulangi
masalah
perubahan iklim,
mengingat
hal ini adalah sebuah
setahun di sebuah rapat
pleno. Kegiatan
utama IPCC adalah
menyediakan
sebuah laporan
perkembangan
informasi terkini
mengenai perubahan
iklim secara reguler.
Laporan IPCC ini
dipakai sebagai dasar
bagi para
pembuat kebijakan dalam
melakukan
negosiasi perubahan
iklim di tingkat
internasional.
Laporan IPCC pertama,
tahun 1990,
menyatakan bahwa
bukti-bukti
menunjukkan secara jelas
akan adanya
pengaruh aktivitas
manusia terhadap
iklim secara global.
Laporan ini
berhasil mendorong
dibentuknya INC
untuk Konvensi Perubahan
Iklim oleh
Majelis Umum PBB.
Laporan IPCC yang ke-3, Third
Assessment
Report (TAR),
berhasil diselesaikan
pada tahun 2001. TAR
secara resmi
dipublikasikan pada saat
COP 7 di
Marakesh, Maroko,
Oktober 2001.
35
masalah global dengan
dampak yang dirasakan secara global pula.
Majelis umum PBB
akhirnya menanggapi seruan IPPC untuk
mengatasi masalah
perubahan iklim secara global. Pada
Desember 1990, PBB
secara resmi membentuk sebuah
badan antar pemerintah,
yaitu Intergovernmental Negotiating
Comittee (INC) untuk
melakukan negosiasi
ke arah konvensi
perubahan iklim.
B.
Konvensi Perubahan Iklim
Pada Mei 1992, INC
menyepakati secara konsensus
sebuah Kerangka Kerja
Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework
Convention on Climate
Change - UNFCCC). Kemudian pada Juni 1992,
diselenggarakanlah KTT
Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, dimana pada kesempatan ini
Konvensi Perubahan Iklim
mulai ditandatangani.
Konvensi Perubahan Iklim
pada akhirnya dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak
21 Maret 1994 setelah
diratifikasi oleh 50 negara. Saat ini konvensi tersebut telah
diratifikasi oleh lebih
dari 180 negara. Dengan demikian, negara-negara yang telah
meratifikasi konvensi
tersebut, biasa disebut Para Pihak atau Parties, terikat secara
hukum pada ketentuan
yang terdapat di dalam konvensi.
Adapun tujuan utama
Konvensi Perubahan Iklim adalah untuk menstabilkan
konsentrasi gas rumah
kaca pada tingkat aman, sehingga tidak membahayakan sistem
iklim global. Namun
konvensi ini belum mencantumkan target-target
yang mengikat, seperti
target tingkat konsentrasi GRK
yang aman serta batasan
waktu untuk mencapai
target tersebut.
Konvensi ini kemudian
membagi
negara-negara ke dalam 2
kelompok,
yaitu negara maju yang
terdaftar di dalam Annex I
(dikenal sebagai negara
Annex I) serta negara berkembang yang
36
tidak terdaftar di dalam
Annex I (dikenal dengan
negara non-Annex I)
Negara Annex I adalah
negara-negara maju yang
di dalam sejarahnya
telah lebih awal
mengkontribusi gas rumah
kaca ke atmosfer, yaitu
sejak revolusi industri
tahun 1850. Emisi GRK per
kapita negara Annex I
terhitung jauh lebih tinggi
daripada emisi per
kapita negara non-Annex I
atau negara berkembang.
Selain itu negara Annex
I mempunyai perekonomian
dan kemampuan
yang lebih baik dalam
menghadapi masalah
perubahan iklim
dibanding negara berkembang.
dan prinsip 'common
but differentiated responsibilities'
(prinsip tanggung jawab
bersama namun
dengan porsi yang
berbeda) yang diabadikan di
dalam Konvensi, meminta
negara-negara Annex
I untuk mengambil
langkah maju dalam hal
menurunkan emisi GRK di
dalam negerinya.
Di dalam Konvensi
Perubahan
Iklim dinyatakan bahwa
baik
negara Annex I maupun
non-
Annex I harus
menyerahkan
laporan yang dikenal
dengan National
Communication,
yaitu laporan
mengenai inventarisasi
emisi
Tabel 4.1.
Target
Penurunan Emisi GRK Beberapa Negara
Annex I
Negara
Target
Penurunan
Emisi
Uni Eropa - 8%
Jerman - 8%
Perancis - 8%
Swedia - 8%
Italia - 8%
Amerika Serikat - 7%
Jepang - 6%
Kanada - 6%
Selandia Baru 0%
Federasi Rusia 0%
Norwegia + 1%
Australia + 8%
Eslandia + 10%
Amerika Serikat,
Australia, Austria,
Belanda, Belarusia,
Belgia, Bulgaria,
Cheko, Denmark, Estonia,
Eslandia,
Finlandia, Federasi
Rusia, Jerman,
Hongaria, Irlandia,
Italia, Inggris
Jepang, Kanada, Kroasia,
Latvia,
Liechtenstein,
Lithuania, Luxemburg,
Monako, Norwegia,
Polandia, Portugal,
Perancis, Rumania,
Selandia Baru,
Slowakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia,
Swiss, Turki, Ukraina,
Uni Eropa dan
Yunani.
Oleh karena
itu, prinsip
kesetaraan
37
GRK serta program dan
kebijakan perubahan iklim
nasionalnya. Namun batas
waktu penyerahan National
Communication
bagi negara non-Annex I
lebih longgar daripada
negara Annex I.
C.
Protokol Kyoto
Setelah Konvensi
Perubahan Iklim diratifikasi,
negara-negara
peratifikasi atau Para Pihak, melakukan
pertemuan tahunan yang
dikenal dengan Pertemuan Para
Pihak atau Conference
of the Parties (COP). Pertemuan ini ditujukan untuk mengkaji
ulang pelaksanaan
konvensi dan untuk melanjutkan diskusi serta negosiasi dalam
menangani masalah
perubahan iklim.
Conference
of the Parties untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tanggal 28
Maret - 7 April 1995 di
Berlin, Jerman. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan
untuk mengambil
langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi masalah
perubahan iklim.
Termasuk di dalamnya untuk memperkuat komitmen negara Annex
I, yang tidak tercantum di
dalam konvensi, dengan mengadopsi suatu protokol atau
bentuk hukum lainnya.
Kesepakatan yang
dihasilkan pada COP 1 kemudian dikenal dengan nama Berlin Mandate.
38
Selama 2 tahun setelah
pertemuan COP 1,
tidak ada kesepakatan
internasional
yang cukup berarti
yang dihasilkan.
Namun pada pertemuan
COP 3,
yang diselenggarakan
pada tanggal 1-11
Desember 1997 di Kyoto,
Jepang, barulah berhasil
disepakati sebuah
kesepakatan dengan komitmen
yang lebih berarti.
COP 3 yang dikenal
dengan Konferensi Kyoto
merupakan sebuah ajang
pergulatan antara
negara maju dan
berkembang. Negara maju (Annex
I) yang dianggap telah
lebih dahulu
mengemisikan GRK ke
atmosfer melalui kegiatan
industrinya menolak
untuk memberikan komitmen
yang berarti di dalam
Protokol Kyoto.
Sementara negara
berkembang merasa
belum mampu untuk
menurunkan emisi
GRK-nya karena dianggap
akan
menghambat proses
pembangunan di
negaranya.
Setelah mengalami
pergulatan dan
negosiasi yang sangat
alot, akhirnya pada
hari terakhir
pelaksanaan COP 3
disepakatilah sebuah
ketentuan yang
mengikat secara hukum
dengan komitmen
yang lebih tegas dan
lebih detail.
Ketentuan ini kemudian
lebih kenal
dengan Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto dapat
segera
berkekuatan hukum
setelah diratifikasi
oleh minimal 55 negara,
dimana
jumlah emisi
negara-negara Annex I
yang telah meratifikasi
minimal
mewakili 55% jumlah
total emisi
negara Annex I pada
tahun 1990.
Pernyataan AS untuk
tidak meratifikasi
Protokol Kyoto (Maret
2001) membuat
perjalanan Protokol
Kyoto untuk dapat
39
Protokol Kyoto merupakan
sebuah kesepakatan
internasional yang
menunjukkan sebuah upaya
yang sangat serius dalam
menghadapi perubahan
iklim. Secara hukum
Protokol Kyoto mewajibkan
seluruh negara Annex I
untuk menurunkan emisi
GRK rata-rata sebesar
5,2% dari tingkat emisi
tahun 1990 pada periode
tahun 2008-
2012.
Dari angka penurunan
emisi rata-rata
sebesar 5,2%, tidak
seluruh negara Annex
I diharuskan untuk
menurunkan
emisinya. Ini
dikarenakan ada beberapa
negara An- nex I yang
emisi GRK-nya saat
itu berada di bawah
tingkat emisi
GRK tahun 1990.
Contohnya Australia
dan Norwegia yang
diperbolehkan
untuk meningkatkan
emisinya
sebesar 8% dan 1% dari
emisi mereka di
tahun 1990.
Protokol Kyoto sendiri
terutama bertujuan
untuk mengurangi secara
keseluruhan emisi
6 jenis GRK, yaitu
karbondioksida (CO2),
metana (CH4), dinitro
oksida (N2O),
hidrofluorokarbon
(HFCs), perfluorokarbon
berkekuatan hukum
menjadi semakin
sulit. AS sendiri
mewakili 36% jumlah
total emisi negara Annex
I tahun
1990.
Hingga 26 November 2003,
jumlah
negara yang telah
meratifikasi
Protokol Kyoto adalah
sebanyak 120
negara <http://www.unfccc.int/resource/
kpstats.pdf>.
Sementara jumlah total
emisi negara Annex I
yang telah
meratifikasi sejauh ini
baru sebesar
44,2%. Berarti masih
kurang 10,8%
lagi untuk membuat
Protokol Kyoto
dapat berkekuatan hukum.
Saat ini seluruh dunia
menanti
kesediaan Rusia untuk
segera
meratifikasi Protokol
Kyoto. Dengan
jumlah emisi 17,4% dari
total emisi
Annex I, maka dapat
dipastikan
Protokol Kyoto dapat
segera
berkekuatan hukum.
Indonesia sendiri hingga
saat ini
belum meratifikasi
Protokol, tetapi
langkah-langkah ke arah
ini telah
diupayakan sejak
pertengahan 2002.
(PFCs) dan
sulfurheksafluorida (SF6).
Seperti halnya pada
Konvensi Perubahan Iklim, pembagian tanggung jawab di
dalam Protokol Kyoto
juga didasari dengan prinsip common but differentiated
responsibilities. Oleh
karena itu, berbeda dengan negara maju, negara
berkembang tidak dikenai
target penurunan emisi serta batasan waktu untuk
menurunkan emisi
GRK-nya. Namun negara berkembang diharapkan untuk
menurunkan emisi GRK-nya
secara sukarela.
40
Walau negara berkembang
tidak dikenai target
penurunan emisi, namun
dampak
perubahan iklim terutama
akan
sangat dirasakan oleh
negara berkembang.
Ini dikarenakan
kondisinya yang
rentan, perekonomian
yang lemah serta
rendahnya kemampuan
teknologi yang
dimiliki. Oleh karena
itu negara
berkembang harus
berupaya agar Protokol
Kyoto dapat dilaksanakan
secara tegas.
Untuk mendukung agar
Protokol Kyoto dapat
segera berkekuatan
hukum, negara berkembang
harus segera
meratifikasi protokol
tersebut. Disamping itu
negara berkembang
juga harus mengawasi
upaya penurunan emisi
yang dilakukan oleh
negara maju agar sesuai
dengan ketentuan yang
tertera di protokol.
Protokol Kyoto sendiri
baru dapat berkekuatan hukum 90 hari setelah protokol ini
diratifikasi oleh
minimal 55 negara. Selain itu, jumlah emisi negara-negara Annex
I yang telah
meratifikasi mini- mal mewakili 55% dari jumlah emisi total
Annex I di tahun 1990.
D. CDM
(Clean Development Mechanism)
Salah satu ketentuan
yang terdapat
di dalam Protokol Kyoto
adalah
sebuah mekanisme yang
disebut
flexibility
mechanism atau mekanisme
yang fleksibel.
Mekanisme ini
memungkinkan negara
41
maju untuk melakukan
penurunan emisi di luar
negaranya, yaitu melalui
usaha penurunan emisi di
negara lain. Usaha
penurunan emisi di negara lain bisa
dilakukan melalui tiga
mekanisme berikut ini:
1.
Joint Implementation (JI), mekanisme
yang memungkinkan negara
maju (investor)
untuk
mengimplementasikan proyek
yang bisa menurunkan
atau menyerap
emisi di negara maju
lainnya. Dengan
timbal-baliknya, kredit
penurunan emisi yang
dihasilkan oleh proyek
tersebut dimiliki oleh
negara investor.
2.
Clean Development Mechanism (CDM),
mekanisme yang
memungkinkan negara negara maju untuk mengimplementasikan
proyek yang bisa
menurunkan atau menyerap emisi di negara
berkembang, dimana
kredit penurunan emisi yang dihasilkan nantinya dimiliki
oleh negara maju
tersebut. Selain tujuan membantu negara maju dalam
memenuhi target
penurunan emisi, mekanisme CDM ini juga bertujuan untuk
membantu negara
berkembang dalam mendukung pembangunan berkelanjutan
di negara berkembang.
3.
Emission Trading (ET), mekanisme yang
mengatur negara
maju untuk membeli
kredit penurunan
emisi dari negara
maju lainnya (tanpa
harus melalui kerja
sama proyek).
Diantara ketiga
mekanisme
di atas, mekanisme CDM
42
merupakan satu-satunya
mekanisme di dalam
protokol yang
mengikutsertakan partisipasi
negara berkembang.
Untuk lebih jelasnya,
CDM itu sendiri adalah
sebuah mekanisme dimana
negara maju dapat
menurunkan emisi gas
rumah kacanya dengan
mengembangkan proyek
ramah lingkungan,
proyek yang terbukti
dapat menurunkan emisi
GRK, di negara
berkembang.
Pada intinya mekanisme
CDM ini merupakan sebuah
bentuk perdagangan
karbon, dimana negara
berkembang dapat menjual
kredit penurunan emisi melalui
proyek CDM kepada negara
Annex I yang memiliki kewajiban untuk menurunkan
emisi.
Tujuan CDM, seperti yang
tertera
para Protokol Kyoto
Pasal 12,
adalah:
1. Membantu negara
berkembang,
yang bukan merupakan
negara Annex
I, dalam menerapkan
pembangunan
yang berkelanjutan serta
mengupayakan tercapainya
tujuan
utama Konvensi Perubahan
Iklim,
yaitu menstabilkan
konsentrasi GRK
dunia hingga pada
tingkat yang
tidak mengganggu sistem
iklim
global.
2. Membantu
negara-negara Annex
I agar dapat memenuhi
target
43
mereka dalam menurunkan jumlah
emisi GRK-nya.
CDM diharapkan dapat
mendorong munculnya proyekproyek
ramah lingkungan yang
terbukti dapat
menurunkan emisi GRK di
negara berkembang.
Namun untuk dapat turut
mengembangkan proyek
CDM,
negara yang
bersangkutan, baik
negara maju ataupun
negara
berkembang, harus
terlebih dahulu
meratifikasi Protokol
Kyoto. Hingga
saat ini Indonesia,
difasilitasi oleh
Kementerian Lingkungan
Hidup dan
Departemen Luar Negeri
sedang
berupaya agar Protokol
Kyoto dapat segera diratifikasi.
Sebagai bukti bahwa
sebuah proyek CDM telah berhasil menurunkan emisi GRK,
maka proyek yang
bersangkutan akan dinilai, divalidasi dan diverifikasi hingga
akhirnya berhasil
mendapatkan sertifikat pengurangan emisi atau lebih dikenal dengan
CER (Certified Emission
Reduction). Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Eksekutif
CDM (CDM Executive
Board),
badan internasional
yang
berwenang melakukan
pengawasan
dan pengaturan
pelaksanaan
CDM.
Di tingkat nasional,
proyek CDM
harus mendapatkan
persetujuan
dari Designated
44
National
Authority (DNA) atau badan CDM nasional,
yaitu sebuah badan yang
ditunjuk pemerintah untuk
memberikan penilaian
apakah proyek CDM itu memang
menguntungkan bagi
pembangunan berkelanjutan
dan masyarakat lokal
atau malah merugikan.
Persetujuan dari negara
tuan rumah tempat
dikembangkannya
proyek CDM
ini sangat diperlukan
mengingat CDM harus
memberikan keuntungan
tidak hanya bagi negara maju, namun juga bagi negara
berkembang itu sendiri.
Jika negara Annex 1
mendapatkan keuntungan berupa kemudahan dalam menurunkan
emisi GRK melalui
mekanisme CDM, maka negara berkembang mendapatkan keuntungan
antara lain berupa
transfer teknologi dari negara maju untuk proyek yang
bersangkutan.
Selain itu proyek-proyek
CDM haruslah memberikan keuntungan bagi masyarakat
lokal, baik lingkungan,
sosial dan ekonomi. Untuk menjamin adanya dampak positif
proyek CDM bagi
masyarakat lokal, maka diharuskan adanya partisipasi dari masyarakat
di sekitar proyek CDM
ataupun pihak-pihak lain. Adanya partisipasi
publik dalam
pengembangan
sebuah proyek CDM
merupakan
salah satu syarat
dari CDM.
Pemilik proyek CDM
diharuskan
untuk mengadakan
proses publik yang
transparan
dan obyektif untuk
mendapatkan opini-opini
dari masyarakat mengenai
45
kegiatan proyek
tersebut. Proses publik juga tidak
hanya diadakan oleh
pemilik
proyek, namun juga oleh
Badan Eksekutif CDM.
Pada saat sebuah proyek
didaftarkan ke Badan
Eksekutif
CDM, badan ini akan
mempublikasikan dokumen
proyek CDM tersebut dan
kemudian meminta publik
untuk memberikan opini
atau
komentar mengenai
kegiatan
proyek tersebut.
Dari kedua proses publik
yang transparan dan obyektif tersebut, diharapkan proyek
CDM yang telah disetujui
tidak akan merugikan masyarakat lokal atau pihak terkait
lainnya, baik dari segi
sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Mekanisme CDM juga
menyediakan dana tambahan, dikenal dengan dana adaptasi,
bagi negara-negara yang
rentan seperti negara-negara kepulauan (small islands states)
untuk mempersiapkan diri
menghadapi perubahan iklim. Dana tambahan ini
didapatkan dari
penjualan kredit penurunan emisi dalam mekanisme CDM, yaitu sebesar
2% dari hasil penjualan
CDM yang harus diserahkan kepada UNFCCC untuk dikelola
menjadi dana adaptasi.
46
Perubahan iklim sudah
mulai terasa dampaknya bagi umat
manusia. Oleh karena itu
diperlukan beberapa upaya
untuk mengurangi laju
perubahan iklim. Upayaupaya
ini tidak dapat
dilakukan
oleh satu pihak saja,
yaitu
pemerintah. Perlu
integrasi dari
berbagai pihak yang
terkait antara
pihak pemerintah dengan
pihak
industri dan masyarakat,
baik itu
dalam hal sosialisasi
agar masyarakat
dapat
mulai
paham akan isu perubahan
iklim, maupun program aksi
nyata untuk memperlambat
laju perubahan iklim.
Berikut ini adalah
uraian mengenai hal-hal yang telah
dilakukan oleh beberapa
pihak, khususnya pemerintah,
sehubungan dengan isu
perubahan iklim. Selain itu juga
dijabarkan mengenai
langkah-langkah apa yang harus
dilakukan oleh berbagai
pihak untuk menghadapi perubahan
iklim serta untuk
memperlambat lajunya.
47
A.
Upaya yang Telah Dilakukan
1.
Pemerintah
Indonesia telah
meratifikasi
Konvensi PBB mengenai
Perubahan
Iklim (UNFCCC) melalui
UU No. 6/
1994 pada tanggal 1
Agustus 1994.
Sebelumnya, pada tahun
1992, Indonesia
telah membentuk Komite
Nasional Perubahan Iklim
yang
berwenang untuk
mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan isu perubahan
iklim. Anggota komite
ini berasal dari berbagai instansi pemerintah.
Sebagai pihak dari
konvensi tersebut, Indonesia wajib melaporkan data yang terkait
dengan isu pemanasan
global dan perubahan iklim, yaitu sumber emisi GRK, jumlah
emisi GRK serta
perkiraan dampak yang akan dialami Indonesia jika perubahan iklim
terjadi. Laporan pertama
Indonesia mengenai hal ini telah diterbitkan oleh
Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) sebagai the First National Communication -
Indonesia
pada tahun 1999.
Sesungguhnya, Pemerintah
Indonesia sudah lebih
lama berperan aktif
dalam isu perubahan iklim.
Sebelum tahun 1990,
telah dilakukan
beberapa studi yang
terkait dengan
dampak perubahan iklim.
Studi-studi
ini dilakukan bersama
oleh KLH dan
berbagai lembaga
penelitian di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya,
pemerintah
Indonesia mendapatkan
dukungan
dana dari berbagai
institusi maupun
negara asing.
48
Dengan dukungan dari
United Nations Environment Programme (UNEP), sebelum
tahun 1990 studi
mengenai dampak sosial-ekonomi perubahan iklim telah
dilaksanakan. Studi lain
yang didukung oleh UNEP adalah dampak perubahan iklim
terhadap pulau-pulau kecil.
Pemerintah Indonesia
juga mendapatkan dukungan dana dari Asian Development
Bank (ADB). Studi yang
dilaksanakan dengan dukungan ADB sangat beragam yaitu
mengenai sumber emisi,
dampak, maupun strategi penanganannya. Salah satu studi
yang cukup penting adalah
Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS).
Selain itu, ADB juga
memberikan dukungan dana untuk proses sosialisasi.
Dukungan dana lain
datang dari pemerintah Jepang. Bukan hanya dalam pelaksanaan
studi tetapi juga dalam
proses
peningkatan kapasitas
dan penyebarluasan
informasi. Pemerintah
Norwegia
juga memberikan
dukungan
dana
dengan fokus
pada sektor
kehutanan. Hal
serupa juga dilakukan
oleh pemerintah
Amerika Serikat,
Belanda,
Finlandia, Jerman dan
beberapa negara lain
sejak awal dekade 90-
an.
S e l a i n
kegiatankegiatan
tersebut,
berbagai
49
instansi pemerintah
dalam kapasitasnya sebagai anggota Komite Nasional Perubahan
Iklim, telah mulai
memasukkan isu perubahan iklim dalam rencana kerjanya.
Namun demikian, terlepas
dari berbagai studi yang telah dilakukan serta
penandatanganan Protokol
Kyoto, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi
Protokol Kyoto yang
merupakan alat bagi pelaksanaan Konvensi. Upaya ke arah
ratifikasi telah
dilakukan sejak pertengahan tahun 2002 dengan pembuatan naskah
akademis serta
pembahasan mengenai tingkat ratifikasi di tingkat antar departemen.
Pada bulan Januari 2004,
draft RUU ratifikasi telah dimasukkan oleh Departemen
Luar Negeri ke Kantor
Sekretariat Negara untuk kemudian diteruskan ke Presiden.
Presidenlah yang
nantinya akan memasukkan draft usulan ratifikasi ke DPR untuk
kemudian DPR
mengesahkannya dalam bentuk UU ratifikasi.
Paralel dengan usaha
ratifikasi, KLH juga telah mengkoordinasikan upaya pembentukan
badan nasional CDM atau
yang kemudian disebut dengan Badan Nasional Mekanisme
Pembangunan Bersih
(BN-MPB). Telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa fungsi
badan nasional ini
adalah untuk memberikan
persetujuan bahwa
proyek-proyek CDM
yang bersangkutan
terbukti
mendukung pembangunan
yang
berkelanjutan dan juga
menguntungkan
bagi masyarakat lokal.
Badan nasional ini
nantinya akan
beranggotakan perwakilan
dari
departemen-departemen
yang terkait
langsung dengan kegiatan
CDM.
Diharapkan pada
pertengahan tahun
2004, badan nasional ini
sudah berdiri
dan berfungsi.
50
2.
Industri dan Masyarakat.
Isu perubahan iklim
masih merupakan isu
yang sangat asing bagi
industri dan
masyarakat. Kurang
mem-buminya isu ini
mengakibatkan
ketertarikan pihak
industri dan masyarakat
sangat kecil.
Akibatnya, hingga saat
ini masih
sangat terbatas upaya
dari kedua pihak
tersebut yang secara
khusus ditujukan
untuk menurunkan emisi
GRK.
B. Apa
yang Harus Dilakukan di Masa Depan?
Masih banyak hal
upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk menekan laju
perubahan iklim. Bukan hanya
penurunan emisi GRK,
tetapi lebih penting lagi
adalah upaya untuk
beradaptasi terhadap
dampak perubahan iklim.
Upaya-upaya ini harus
dilakukan secara
terintegrasi oleh pemerintah,
pihak industri dan
masyarakat umum.
1.
Pemerintah
Upaya
Mitigasi dan Adaptasi
Upaya pemerintah perlu
dilakukan
dalam berbagai sektor.
Pada sektorsektor
seperti energi,
transportasi
dan industri, pemerintah
harus
menekankan pentingnya
pengembangan
strategi dan tindakan
nyata
dalam melakukan upaya
mitigasi
atau menurunkan emisi
GRK. Upaya
51
yang bisa dilakukan oleh
sektor ini antara lain, mengganti bahan bakar
dengan yang lebih bersih
dan ramah lingkungan, menghemat
penggunaan bahan bakar,
serta menggunakan peralatan atau mesin
yang lebih hemat energi.
Namun selain upaya
mitigasi, upaya adaptasi juga tidak kalah
pentingnya untuk
dilakukan. Sektor-sektor seperti pertanian,
perikanan,
infrastruktur, kehutanan serta kesehatan merupakan sektor
yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim. Oleh karena itu harus
dipersiapkan strategi
adaptasi bagi sektor tersebut agar dapat
mengantisipasi berbagai
kemungkinan buruk yang akan timbul akibat
perubahan iklim.
Salah satu hal yang
harus dilakukan Pemerintah sehubungan dengan
adaptasi adalah perlunya
membuat perencanaan dan persiapan dalam menghadapi
bencana yang
diperkirakan akan terjadi, termasuk di dalamnya early warning system
atau sistem peringatan
dini. Peringatan bagi para petani akan kemungkinan datangnya
musim kemarau sejak
beberapa bulan sebelumnya perlu diberikan, agar petani dapat
segera melakukan
tindakan antisipasi. Begitu juga dengan peringatan dini akan
datangnya bencana
banjir, dimana masyarakat yang berada di daerah rawan banjir
dapat waspada serta
mendukung pemerintah dalam menjalankan strategi
penanggulangan bencana
banjir.
Pemerintah juga harus
memperkuat masyarakat
setempat dengan
pelatihan dan pendidikan agar
masyarakat juga dapat
mandiri melakukan
berbagai tindakan
antisipasi terhadap
dampak perubahan iklim.
Strategi yang sifatnya
terintegrasi
di tiap sektor sangatlah
diperlukan. Bukan hanya
di tingkat pusat tetapi
terutama di tingkat daerah,
mengingat berbagai
dampak maupun upaya akan
terjadi di tingkat
daerah.
52
Pertanian
dan Peternakan
Dari segi adaptasi,
sistem informasi yang baik
merupakan kunci utama
bagi sektor ini. Sistem
informasi ini meliputi
informasi kondisi cuaca
serta early warning
system atau sistem peringatan
dini.
Pemerintah juga perlu menyediakan
bantuan
finansial khusus agar
petani dapat beradaptasi,
misalnya untuk membangun
water reservoir, atau
tempat penampungan air
hujan, serta untuk
melakukan watershed
management, atau
manajemen air.
Banyak alternatif yang
dapat
dilakukan untuk
menurunkan emisi
GRK pada sektor
pertanian dan
peternakan yang pada
saat bersamaan
juga meningkatkan mutu.
Selain itu,
banyak pula upaya yang
dapat
dilakukan untuk
beradaptasi terhadap
dampak perubahan iklim
pada kedua
sektor ini.
A.
Pengelolaan Air
Proses penanaman padi
sebaiknya
difokuskan pada proses
penggenangan
berkala. Proses irigasi
yang dilakukan
harus terkendali,
artinya air hanya
dialirkan dan dibiarkan
menggenang
pada waktu tertentu
saja. Dengan
demikian emisi GRK dapat
dikurangi,
sementara kualitas
maupun kuantitas
panen tak berkurang dan
jumlah air
yang diperlukan pun
berkurang.
B.
Pengelolaan Tanah
Pemakaian pupuk urea
tablet sebagai
pengganti urea tabur
dapat menurunkan
emisi gas N2O yang juga
merupakan
GRK.
C.
Pemilihan Praktek Pertanian
Jenis padi juga
mempengaruhi emisi
GRK. Pemakaian varietas
padi jenis
unggul akan mengurangi
emisi tanpa
mengurangi kualitas
padi. Selain itu,
waktu tanam pun lebih
singkat
sehingga petani lebih
sering
melakukan panen.
53
Water
reservoir dapat dibangun oleh perorangan
maupun kelompok. Untuk
yang perorangan,
terutama untuk sawah
yang letaknya jauh dari
sumber air, bisa
dibangun semacam sumur tempat
penampungan air di
lokasi sekitar sawah.
Banyaknya air yang
ditampung tergantung dari
luas sumur tersebut.
Nantinya ketika musim
kemarau panjang melanda,
petani tetap dapat
mengairi sawahnya dengan
air yang telah
ditampung selama musim
hujan di tempat
penampungan tersebut.
Sementara untuk jenis water
reservoir yang
dibangun oleh kelompok,
bisa dibangun di sungai
di sekitar persawahan.
Di badan sungai tersebut
dibuat semacam
terasering, atau undakanundakan
bertingkat yang
bentuknya berupa
cekungan, agar air yang
melewati sungai tersebut
tidak langsung mengalir
ke bawah, tapi tertahan
oleh terasering
tersebut. Air yang tertahan di
terasering dapat
langsung dialirkan ke sawahsawah
di sekitar sungai.
Semakin dalam cekungan
yang dibangun, maka
semakin banyak air yang
dapat ditampung.
Sehingga ketika musim kemarau
datang, para petani
dapat
menggunakan air tersebut
untuk mengairi
sawah mereka yang
terletak di sekitar
sungai.
D.
Pengelolaan Pakan Ternak
Dalam sektor peternakan,
pola dan
jenis pakan ternak akan
mempengaruhi
emisi GRK. Kualitas
pakan yang
baik akan mengurangi
proses
fermentasi dalam sistem
pencernaan
ternak, sehingga gas
metana yang
dihasilkan dan dibuang
pun berkurang.
E.
Pemanfaatan Kotoran Ternak
Kotoran ternak dapat
dimanfaatkan
sebagai sumber
pembangkit listrik
tenaga biogas. Dengan
teknologi yang
sederhana, kotoran
ternak dapat
diolah menjadi biogas
yang dapat
dimanfaatkan secara
maksimal.
F.
Diversifikasi Pangan
Pemerintah harus mulai
melaksanakan
diversifikasi konsumsi
karbohidrat,
sehingga tak lagi
bergantung pada
beras. Sumber
karbohidrat lain seperti
kentang, sagu, jagung
dan lainnya
sebenarnya telah dikenal
dan
dikonsumsi di berbagai
daerah, namun
perlu didukung dengan
mekanisme
finansial agar lebih
berkembang.
Dengan diversifikasi
ini, ketergantungan
akan beras akan menurun
dan
potensi emisi GRK dari
penanaman
padi pun dapat ditekan.
Pengelolaan penggunaan
air, seperti kapan waktu yang
tepat untuk mengalirkan
air dari water reservoir ke sawah
ataupun kemana air
tersebut akan dialirkan merupakan
54
bagian dari watershed
management atau manajemen air. Manajemen air sawah
bertujuan untuk
mengendalikan penggunaan air dari water reservoir hanya pada waktu
tertentu, ketika musim
kemarau datang misalnya.
Untuk menjalankan
beberapa strategi adaptasi di atas, perlu diadakan penyuluhan
terlebih dahulu
sebelumnya. Hal ini untuk mengenalkan kepada petani mengenai
masalah perubahan iklim
serta dampak-dampak yang ditimbulkan. Penyuluhan juga
berguna agar petani
tanggap akan langkah-langkah antisipasi apa yang harus mereka
lakukan.
Sementara dari segi
mitigasi, manajemen air sawah juga dapat berfungsi untuk
menurunkan emisi GRK
yang dihasilkan dari sektor pertanian. Seperti telah diuraikan
sebelumnya bahwa sawah
tergenang turut menyumbangkan emisi GRK berupa gas
metana. Manajemen air
dilakukan untuk mengendalikan air, agar sawah hanya
tergenang pada waktu
tertentu saja sehingga emisi gas metana yang dihasilkan
dapat berkurang.
Selain itu perlu
disosialisasikan pula mengenai
penggunaan bibit unggul
yang tidak hanya dapat
mengurangi emisi GRK
tapi juga dapat meningkatkan
hasil panen. Selain itu
penggunaan pupuk yang tepat
juga dapat mengurangi
pengeluaran emisi GRK dari
sektor ini.
Sementara di sektor
peternakan, pemerintah perlu
melakukan penyuluhan
mengenai pola pakan yang
tepat. Selain
meningkatkan kualitas ternak, pola
pakan yang tepat akan
menurunkan emisi gas
metana yang dikeluarkan
sebagai buangan kegiatan
memamah.
Disamping itu,
pemanfaatan kotoran
ternak sebagai sumber
listrik tenaga
biogas perlu
disosialisasikan pula
55
kepada para peternak.
Pembangkit
listrik dengan bahan
bakar biogas
yang ramah lingkungan
selain
murah juga tidak akan
mengeluarkan
emisi GRK. Sehingga para
peternak akan memilih
untuk menggunakan
pembangkit listrik
bertenaga biogas
daripada pembangkit
listrik berbahan
bakar fosil. Tindakan
ini sudah pasti akan
menurunkan jumlah emisi
GRK yang dihasilkan dari sektor peternakan. Hal ini harus
mendapat dukungan dari
pemerintah berupa penyuluhan secara teknis serta mekanisme
finansial yang tepat.
Perikanan
Di sektor perikanan,
pemerintah perlu memberikan bantuan berupa informasi kepada
nelayan, misalnya data
cuaca dan kelautan yang aktual sebagai penuntun bagi nelayan
ketika akan pergi
melaut. Data perikanan yang aktual pun sangat diperlukan mengingat
kemungkinan terjadinya
pola hidup dan zona hidup ikan dan hasil laut lainnya akibat
pemanasan global dan
perubahan iklim.
Pemerintah dapat pula
memberikan bantuan
finansial bagi nelayan
untuk bisa
memiliki kapal yang
berteknologi canggih
yang
dibekali alat GPS (Global
Positioning
System) pada
nelayan
untuk mengetahui
keberadaan
ikan di suatu tempat;
atau
dengan penggunaan bio-telemetry
sebagai teknologi baru
56
yang mengandalkan
penginderaan jarak jauh melalui satelit untuk mengetahui posisi
dan karakteristik ikan.
Transportasi
Penggunaan bahan bakar
fosil pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) merupakan
salah satu sumber
terbesar emisi GRK. Penggunaan kendaraan bermotor secara tidak
efisien, misalnya dengan
menggunakan kendaraan pribadi di bawah kapasitas
angkutnya, atau
penggunaan kendaraan bermotor untuk jarak pendek, akan
meningkatkan emisi GRK
secara signifikan.
Oleh karena itu, untuk
menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi dengan secara
signifikan, diperlukan
adanya sistem transportasi massal yang aman, nyaman dan
ekonomis. Dalam hal
penggunaan bahan bakar, alat transportasi massal atau kendaraan
umum sudah dapat
dipastikan lebih hemat dibandingkan kendaraan bermotor pribadi.
Ini dikarenakan alat
transportasi massal dapat mengangkut lebih banyak orang yang
melakukan perjalanan
searah dengan jumlah bahan bakar yang sama dengan yang
digunakan kendaraan
pribadi.
Dengan terciptanya
sistem transportasi massal yang terpercaya, maka diharapkan
akan terjadi perubahan
pola penggunaan alat transport, dari penggunaan kendaraan
pribadi ke alat
transportasi massal, seperti bis, kereta dan mikrolet. Jika hal ini
terwujud, maka akan
terjadi penghematan bahan bakar secara signifikan yang berarti
akan menurunkan emisi
GRK secara nyata.
Untuk mendukung
kebijakan di atas,
pemerintah harus
menggalakkan
pemanfaatan sistem
transportasi
tidak bermotor. Hal ini
harus dimulai
dengan memperbaiki
ataupun
menyediakan
infrastruktur untuk
berjalan kaki atau
bersepeda.
57
Energi
Pemerintah juga harus
segera menghapuskan
subsidi bahan bakar
fosil dan mengalihkannya
kepada pengembangan dan
pemanfaatan energi
terbarukan. Strategi
pengembangan energi,
termasuk listrik, harus
difokuskan pada
pemanfaatan sumber
energi terbarukan yang
bersih dan aman.
Untuk mendukung hal
tersebut, diperlukan adanya
mekanisme finansial lain
yaitu berupa
penghapusan pajak impor
peralatan energi
terbarukan. Dengan
mekanisme ini, maka
investasi awal akan
berkurang dan menjadi daya
tarik bagi investor
untuk turut mengembangkan
energi terbarukan.
Upaya lain yang perlu
dilakukan adalah
pemberlakuan pajak
lingkungan dalam
pemanfaatan energi.
Semakin tidak bersih suatu
jenis energi, semakin
tinggi pajak lingkungannya.
Dengan demikian energi
kotor akan
tersisihkan dan energi
bersih
akan semakin berkembang.
Disamping dampak
penggunaan energi
fosil berkaitan erat
dengan perubahan
iklim, cadangannya pun
di Indonesia
diperkirakan akan habis
sekitar 10
tahun lagi, yaitu pada
tahun 2013
(untuk minyak bumi).
Dapatkah
manusia hidup tanpa
minyak?
Jawabannya tentu saja
bisa, asal
manusia memanfaatkan
sumber energi
terbarukan.
Energi terbarukan adalah
energi yang
tidak berasal dari
fosil. Energi ini
berasal dari alam dan
sifatnya dapat
diperbaharui (renewable).
Energi yang
berasal dari tenaga
angin, surya, air
skala kecil, panas bumi
dan biomassa
merupakan energi
terbarukan yang
ramah lingkungan.
Kontribusinya
terhadap emisi GRK-pun
dapat
diabaikan.
Tabel 5.1
Pemanfaatan
Energi Terbarukan untuk Pasokan Listrik
Jenis
Energi
Terbarukan
Potensi
(MW)
Kapasitas
Terpasang
(MW)
Persentase
Kapasitas
Terpasang
(%)
Persentase
Pemanfaatan
(%)
Geotermal 20.000 812
69,2 4,06
Mikrohidro 459 54 4,6
11,76
Surya
4,8
kWh/m2/hr
5 0,42 -
Angin 448 0,5 0,05 -
Biomasa 50.000 302 25,73
0,6
Total 1.173,5
100 - -
58
Kehutanan
Untuk mengurangi emisi
GRK yang berasal dari
sektor kehutanan, maka
penebangan hutan, baik
itu legal maupun ilegal,
harus dicegah. Demikian
pula dengan kebakaran
hutan. Untuk itu,
diperlukan adanya
penegakan hukum yang kuat
dan tegas.
Selain mengurangi emisi
yang dilepaskan ke
atmosfer, perlu juga
dilakukan upaya peningkatan
penyerapan GRK oleh
sektor kehutanan. Salah
satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan
melakukan penghutanan
kembali kawasan hutan
yang telah rusak.
Penghijauan dan penghutanan
kembali juga harus
dilakukan di banyak lahan
kritis. Kerjasama antara
pemerintah, swasta dan
masyarakat, terutama
masyarakat lokal, menjadi
kunci utama pengelolaan
hutan yang
berkelanjutan.
Kondisi alam Indonesia
dengan sinar
matahari yang tak putus
sepanjang
tahun, angin yang
berhembus dengan
kecepatan tinggi di
beberapa wilayah,
serta air yang melimpah
merupakan
cadangan energi yang tak
terbatas.
Tabel 5.1 menggambarkan
bahwa
pemanfaatan panas bumi
(geotermal)
baru sekitar 4%, dari
total potensi.
Bahkan biomassa, baru
dimanfaatkan
kurang dari 1%.
Pemanfaatan energi
air skala kecil sedikit
lebih tinggi yaitu
11,76% dari total
potensi. Pemanfaatan
terendah terjadi pada
energi
surya yang hanya 0,4%
padahal Indonesia
sebagai negara tropis
dianugerahi sinar
matahari sepanjang
tahun.
Mengapa ini terjadi,
padahal cadangan
tidak terbatas? Satu hal
utama dan
mendasar adalah karena
kebijakan
harga energi yang tidak
tepat. Energi
yang berasal dari sumber
terbarukan
tidak mendapatkan
subsidi. Padahal
energi yang berasal dari
fosil
mendapatkan subsidi.
Wajar saja jika
energi terbarukan tidak
dapat
bersaing.
Kendala lain pemanfaatan
energi
terbarukan adalah
tingginya investasi
awal infrastrukturnya.
Hal ini terjadi
karena sebagian besar
peralatan dan
teknologi belum dikuasai
di dalam
negeri sehingga harus
melakukan
impor. Padahal, impor
infrastruktur ini
digolongkan sebagai
impor barang
mewah, sehingga dikenai
pajak barang
mewah. Akibatnya harga
jual produk
59
Manajemen
Sampah
Sampah yang menumpuk di
Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) akan
mengemisikan GRK berupa gas
metana. Oleh karena itu
pengelolaan sampah
harus dimulai sejak
bagian hulu yaitu dengan
meminimalkan jumlah
sampah. Memilah sampah
serta guna ulang (recycle)
merupakan upaya yang
perlu digalakkan untuk
menekan jumlah sampah
yang dibuang di TPA.
Pemerintah, terutama
pemerintah daerah, perlu
melihat potensi
pemanfaatan sampah sebagai
sumber energi. Gas
metana yang dihasilkan dari
tumpukan sampah dapat
diolah menjadi biogas.
Biogas dapat
dimanfaatkan sebagai sumber
pembangkitan listrik
maupun sebagai bahan bakar
alternatif.
2.
Swasta/Industri
Tidak dapat dipungkiri,
industri merupakan salah
satu penyumbang terbesar
emisi GRK di dalam
berbagai aktivitas
produksinya. Karenanya sangat
wajar jika industri pun
harus bertanggung jawab
untuk menurunkan emisi
GRK.
Pemanfaatan energi yang
efisien, baik dalam
menjadi semakin tinggi.
Pemerintah melalui SK
Menteri
Pertambangan dan Energi
No. 996.K/
43/MPE/1999 telah
memutuskan
prioritas produksi
listrik dari sumber
terbarukan. Sumber
energi terbarukan
yang dimaksud adalah (1)
pembangkit
dengan sumber energi
angin, matahari
dan air skala kecil, (2)
pembangkit
dengan sumber energi
sampah atau
buangan hasil
pertanian/industri,
sampah kota, sumber
panas, tetumbuhan,
panas bumi dan co-generation
dari sisa hasil
pertanian/industri.
Walaupun pemerintah
sudah mengeluarkan
kebijakan yang
mendukung,
namun pada kenyataannya
pemerintah
belum sukses dalam
mengembangkan
sumber energi
terbarukan. Karenanya,
pengembangan energi
terbarukan
memerlukan perhatian dan
kerjasama
banyak pihak, seperti
dari masyarakat,
pemerintah, swasta dan
LSM.
Kerjasama dari berbagai
pihak itu
harus terkoordinasi
dengan baik, agar
program pengembangan
energi
terbarukan dapat
terlaksana secara
terpadu.
proses pengolahan di
industri maupun pembangkitan energi, merupakan upaya
yang secara nyata dapat
menurunkan emisi GRK. Upaya penurunan emisi GRK pun
dapat dilakukan dengan
pemanfaatan secara efisien bahan bakar dan bahan baku
yang ramah lingkungan
dengan emisi GRK minimum.
Upaya efisiensi ini
sudah pasti tidak hanya memberikan dampak positif dalam
60
memperlambat laju
perubahan iklim melainkan
juga menguntungkan pihak
industri dari segi
ekonomi.
3.
Masyarakat
Seperti halnya
pemerintah dan swasta,
masyarakat pun memiliki
tanggung jawab yang
sama untuk menekan emisi
GRK. Efisien dalam
menggunakan energi, baik
itu berupa energi listrik
ataupun bahan bakar
fosil, merupakan upaya yang
menguntungkan. Bukan
hanya dari sisi emisi GRK
tetapi juga dari sisi
keuangan.
Beberapa langkah nyata
yang bisa dilakukan oleh
masyarakat dalam upaya
mengurangi emisi, antara
lain:
.: Gunakan penerangan
secara efisien dan efektif.
Penggunaan lampu hemat
energi dan jadwal
penerangan rumah yang
tepat (misalnya sejak
pk. 18.00-05.00) akan
mengurangi konsumsi
listrik secara
signifikan.
.: Gunakan peralatan
elektronik, seperti komputer,
TV, radio dan AC,
seperlunya saja. Jangan lupa
untuk mematikan
peralatan elektronik yang
sedang tidak
dipergunakan.
.: Kurangi penggunaan
kendaraan bermotor
pribadi agar dapat
menurunkan emisi GRK secara
signifikan.
.: Maksimalkan
penggunaan kendaraan umum dan
Kerusakan hutan di
Indonesia harus
segera diatasi, apalagi
mengingat
penggundulan hutan
memberikan
kontribusi yang sangat
besar bagi
emisi GRK di Indonesia.
Upaya ini
harus dilakukan baik
oleh pemerintah,
swasta, LSM ataupun
penduduk
lokalnya.
Beberapa alternatif yang
dapat
dilakukan adalah:
Reboisasi
Reboisasi adalah usaha
untuk
merehabilitasi lahan
kritis dan padang
di hutan dengan cara
penanaman
kembali. Kendalanya
adalah memilih
tanaman yang akan
ditanam. Kadang
jenis tanaman yang
ditanam tak sesuai
dengan kondisi tanahnya.
Akibatnya
petumbuhan pohon
terhambat dan
rentan terhadap
penyakit. Bukan
hanya itu, daerah
reboisasi lebih
rentan kebakaran,
apalagi pada musim
kemarau.
Bagaimanapun, reboisasi
tetap
merupakan alternatif
yang paling
efisien. Selain itu,
dengan dilakukannya
reboisasi penyerapan GRK
dapat
diperbesar dan berarti
pemanasan global
serta perubahan iklim
dapat
diperlambat.
61
jika terpaksa
menggunakan kendaraan pribadi,
upayakan untuk berbagi
dengan mereka yang
memiliki tujuan sama.
.: Hal yang sama berlaku
pula dalam berjalan kaki
maupun memanfaatkan
angkutan tak bermotor
untuk jarak dekat.
Selain dapat menurunkan emisi
GRK, berjalan kaki dan
bersepeda akan
meningkatkan kesehatan.
.: Jika harus memiliki
kendaraan pribadi, pilih
yang penggunaan bahan
bakarnya lebih hemat
dengan jenis bahan bakar
yang lebih bersih.
.: Kejelian dalam
memilih produk merupakan
bantuan besar dalam
mengendalikan emisi GRK.
Secara keseluruhan,
produk lokal akan
memberikan emisi GRK
yang lebih kecil
dibandingkan produk
impor. Sebab produk impor
akan mengemisikan GRK
dalam proses
transportasinya dari
negara asal ke negara tujuan.
.: Jangan lupa, tanamlah
pohon di sekitar
lingkungan anda tinggal.
Selain berguna untuk
menyegarkan udara di
sekitarnya, pepohonan juga
berfungsi untuk menyerap
emisi GRK.
Penanaman
Kawasan Penyangga
Penanaman kawasan
penyangga
maksudnya menanami
daerah antara
hutan dan masyarakat
dengan
tanaman yang
menghasilkan. Tapi
sulitnya, harga dari hasil
tanam ini
tidak stabil. Sehingga
mempengaruhi
ketertarikan petani
untuk menanamnya.
Padahal kemampuan untuk
menyerap CO2 perhektarnya
relatif
tinggi.
Penghijauan
Kembali (aforestrasi)
Aforestrasi dilakukan
pada lahan kritis
dan lahan masyarakat
yang letaknya
di daerah bukan hutan.
Untuk program
ini, pemerintah
menyediakan bibit.
Bibit tersebut ditanam
dan dipelihara
oleh petani. Tingkat
keberhasilan yang
dicapai bisa mencapai
70%.
62
Ajero, May Antoiniette.
Climate Change Information Center - Manila Observatory. Estimating
CO2 Emissions
Reduction by Example. Presentasi disampaikan pada CD4CDM Training. 6
November 2003.
<http://cd4cdm.org/countries%20and%20regions/Asia/Philippines/
Training%20Workshop/erc/ercexam.ppt>
Asian Least-Cost
Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS). Mengurangi Emisi Gas
Rumah
Kaca. ADB dan AED. 1997.
Asian Development Bank. Environmental
Consideration In Energy Development. 1991.
Asian Development Bank. Socio-economic
Impacts of Climate Change and a National
Reponse
Strategy. A Report of The Regional Study on Global Environment Issues: Country
Study
of Indonesia. 1994.
Bappenas, Final Report,
Annex I: Causes, Extent, Impact and Costs of 1997/ 1998 Fires
and Drought. ADB TA
Grant TA 2999-INO. 1999. di dalam buku Forest Watch Indonesia.
Potret
Keadaan Hutan Indonesia. 2001.
Burke, Lauretta et.al. Terumbu
Karang yang Terancam di Asia Tenggara. World Research
Institute. 2002.
Direktorat Jendral
Listrik dan Pemanfaatan Energi. Statistik dan Informasi
Ketenagalistrikan
dan Energi. 2002. <http://www.djlpe.go.id/Link%20Kiri/Statistik/
PEMAKAIAN%20ENERGI%20PRIMER.pdf>
Energy Information
Administration, Department of Energy - US. Indonesia Country
Analysis
Briefs. 1999. <http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/indonesia.html>
Forest Watch Indonesia/
Global Forest Watch. Potret Keadaan Hutan Indonesia. 2001.
Gie, Kwik Kian. Pengaruh
Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Paper
disampaikan dalam
Seminar Nasional; Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). 31
Oktober 2002. Jakarta.
63
Hulme, M. and N.Sheard. Climate
Change Scenarios for Indonesia. Leaflet CRU and WWF.
Climatic Research Unit.
UEA, Norwich, UK. 1999. <http://www.cru.uea.ac.uk>.
Hidayati, Rini. Masalah
Perubahan Iklim di Indonesia. Makalah Falsafah Sains Program
Pasca Sarjana. IPB.
2001.
IMA Indonesia. Indonesia
Kehabisan Ikan.
IPCC, Intergovernmental
Panel on Climate Change. Climate Change 2001 : Impacts,
Adaptation,
and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the
Working
Group II Report. WMO-UNDP. 2001.
Jasis dan Karama A.S. Kebijakan
Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi
Penyimpangan
Iklim. Prosiding Dikusi Panel: Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala
Alam
La-Nina dan El-Nino
untuk Pembangunan Pertanian. 1999.
Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia dan UNDP. Executive Summary Forest and Land
Fires
In Indonesia. 1998.
Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia. Indonesia Country Study on Climate Change:
Vulnerability
and Adaptation Assesments of Climate Change in Indonesia. 1998.
Jakarta.
Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia. Indonesia: The First National Communication
under
the United Nations Framework Convention on Climate Change. 1990.
Kompas. 7 Maret 2001
Kompas. Kamis, 29 Maret.
2001. El Nino Diperkirakan Akhir 2001 atau Awal 2002. Sebuah
Artikel.
Kompas. Jumat 19
Oktober. 2001. BPS: Produksi Padi Tahun 2001 Turun 2,9 Juta Ton.
Sebuah Artikel.
Kompas. Jumat, 18
Januari 2002. KLB (Kejadian Luar Biasa) Malaria Akumulasi Banyak
Faktor.
Sebuah Artikel.
Kompas. 15 Oktober 2002
Kompas. Jum'at 4 Juli.
2003. Kekeringan di Jateng Bertambah Parah.
Sebuah Artikel.
Murdiyarso, Daniel. Sepuluh
Tahun Perjalanan
Negoisasi
Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit
Kompas. 2003.
64
Murdiyarso, Daniel. Protokol
Kyoto:
Implikasinya
bagi Negara Berkembang.
Penerbit Kompas. 2003.
National Environmental
Trust dan Pelangi. Confronting Climate Change: Economic Priorities
and
Climate Protection in Developing Nations. 2000.
Page, E. Susan, et al. The
amount of Carbon Released from Peat and Forest Fires in
Indonesia
during 1997. 2002. <http://www.nature.com/nlink/v420/n6911/abs/
nature01131_fs.html>
Pelangi. The Asia
Pacific Region Speaks: Perspectives on Climate Change. 2000.
Pearce, Fred. Global
Warming (Essential Science Series). DK Publishing. 2001.
Ronquillo, Athena dan
Fiona Koza. Climate in Crisis: A Climate Change Primer for Southeast
Asia.
Greenpeace. 1998. Quezon City. Filipina.
Rozari, M.B. Presentation
to Expert Panel Discussion on Economic and Physical Change
Scenarios. 1992.
Safwan et al. Analisis
Kenaikan Permukaan Air Laut di Perairan Indonesia. KLH dan ITB.
1990. Jakarta
S.V. Srinivasan. Energy
from Municipal and Industrial Wastes. Chennai. India. <http://
www.shaping-the-future.de/pdf_www/107_paper.pdf>
World Health
Organization (WHO). The World Health Report 1997: Conquering Suffering,
Enriching
Humanity. 1997.
World Health
Organization (WHO). Health and Environment in Sustainable Development:
Five
Years After the Earth Summit. 1997.
Laporan
Akhir Pengkajian Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Daerah Jawa dan
Bali:
Studi Kasus Wilayah Pesisir Semarang. Bappedal/ KMNLH. 1999.
Jakarta.
Indonesian
Biodiversity. Indonesian National Parks. <http:/
/www.geocities.com/RainForest/4466/
biodiver.htm>
65
DITERBITKAN
OLEH
Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Jalan DI Panjaitan Kav
24
Jakarta 13419, Indonesia
Telp : +62 21 851 7164
Facs : +62 21 8590 2521
Email :
climate@cbn.net.id
Website :
www.menlh.go.id
Pelangi
(Yayasan Pelangi Indonesia)
Pangeran Antasari No 10
Jakarta 12150, Indonesia
Telp : +62 21 7280 1172
Facs : +62 21 7280 1174
Email :
pelangi@pelangi.or.id
Website :
www.pelangi.or.id
ISBN
979-98399-0-4
Perubahan iklim ataupun
pemanasan global adalah isu
yang masih asing bagi
kita, orang Indonesia. Tanpa
disadari dampak dari
perubahan iklim itu sendiri sudah
dapat kita rasakan. Musim
kemarau yang semakin
panjang serta musim hujan
yang semakin pendek
periodenya - namun semakin
tinggi intensitasnya. Hal
ini kemudian berdampak
pada berbagai aspek kehidupan
manusia, seperti
kekeringan, gagal panen, krisis pangan
dan air bersih, banjir dan
longsor, wabah penyakit
tropis, dsb. Perubahan
iklim jelas menyengsarakan
kehidupan umat manusia.
Kerugian materi dan juga
korban nyawa adalah akibat
yang harus kita terima.
Oleh karena itu, sudah
saatnya kita, pemerintah, industri
dan masyarakat,
bahu-membahu berupaya untuk
menghambat terjadinya
perubahan iklim.
Mari kita
bertindak sebelum terlambat!
ISBN 979-98399-0-4
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877